Oleh: Armand Rambah
Sekilas judul
di atas, dapatlah kita artikan tiga kata tersebut di dalam keseharian kita yaitu
seni, ekspresi dan emosi. Mengenai kata seni, cukup banyak
sebetulnya pengertian yang dilontarkan oleh para pakar yang dapat kita ambil
untuk dijadikan sebuah persepsi atau penjelasannya. Namun secara sederhana, di
dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata seni tersebut memiliki pengertian
lebih kurang sebagai berikut, seni adalah perlakuan akal dan pikiran untuk
menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi (baca: “halus”). Penekanannya di sini
adalah kata seni lebih diposisikan sebagai kata kerja. Demikian juga dengan
kata ekspresi lebih kurang mempunyai makna bagaimana mengungkapkan atau proses
menyatakan sesuatu. Sedangkan kata emosi mempunyai pengertian adalah keadaan
luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam suatu waktu.[1]
Dari keterangan ini, dapatlah kita rasakan di antara ketiga kata tersebut
terdapat sebuah ikatan atau benang merah yang sangat penting sekali, yaitu
pikiran dan perasaan. Jadi dalam hal ini, sebuah karya seni sangat memerlukan
pikiran yang disalurkan melalui ekspresi maupun emosi (yang mewakili perasaan)
untuk selanjutnya dapat dituangkan di dalam proses perwujudan karya seni
tersebut.
Membicarakan
persoalan seni, paling tidak ada beberapa percabangan seni yang mesti kita
sebutkan di dalamnya. Sebut saja misalnya, seni musik, tari, teater, sastra dan
seni rupa. Tentulah dengan beberapa percabangan disiplin seni lagi yang
termaktub di dalamnya seperti, seni kriya, lukis, patung dan seterusnya. Namun
untuk membahas topik persoalan pada setiap percabangan seni serta ekspresi dan
emosi yang terkandung di dalamnya, sangatlah tidak memungkinkan pada penulisan
yang sangat terbatas ini. Walaupun nantinya juga disinggung beberapa hal yang
dianggap urgen dan relevan dengan pokok persoalan yang dibahas. Namun penulis yakin,
pada prinsipnya beberapa hal di setiap percabangan seni memiliki persamaan
persepsi. Menimbang hal tersebut, maka pada tulisan ini akan lebih mendominasi
pada satu bidang seni saja yang menjadi bahasan nantinya, yaitu seni musik.
Di samping
itu, penulis menyadari betul bahwasanya kemampuan dan wawasan yang penulis
miliki sangatlah tidak memungkinkan untuk menjangkau semua persoalan yang ada
pada dunia seni secara menyeluruh. Tentulah dalam hal ini seni musik yang
menjadi pilihan adalah lebih dilandaskan pada sebuah wilayah profesi yang
senantiasa penulis geluti.
Seni
Mengutip apa
yang pernah dituliskan oleh Jakob Sumardjo tentang seni adalah:
Apa yang
disebut seni memang merupakan suatu wujud yang terindera. Karya seni merupakan
sebuah benda atau artefak yang dapat dilihat, didengar, atau sekaligus dilihat
dan didengar (visual, audio, dan audio-visual), seperti
lukisan, musik dan teater. Tetapi, yang disebut seni itu berada di luar benda
seni sebab seni itu berupa nilai. Apa yang disebut indah, baik, adil, sederhana
dan bahagia itu adalah nilai. Apa yang oleh seseorang disebut indah dapat tidak
indah bagi orang lain.[2]
Mencermati
uraian di atas, tampaknya Jakob Sumardjo lebih menekankan atau memandang seni
itu adalah sebuah nilai yang berada di luar dari seni itu sendiri. Walaupun
dinyatakan juga seni itu adalah berupa wujud yang bisa didengar, dilihat maupun
kedua-duanya. Sebuah karya seni, baru dikatakan bernilai, apabila dilakukan
penilaian, yang nantinya karya seni tersebut bisa merespon
pengalaman-pengalaman estetik dari seseorang yang menilainya.
Persoalan
menilai suatu karya seni, akan sangat bergantung dari apa yang dimiliki oleh
seseorang sebagai bahan pertimbangannya di dalam menilai karya seni tersebut.
Pengetahuan, pengalaman, wawasan serta dokumentasi estetik, sangat membantu
sekaligus mempengaruhi seseorang di dalam proses menilai. Di samping itu
tentunya karya seni sebagai objek, mestilah mempunyai nilai-nilai seni.
Nilai-nilai seni ini bisa saja sama, tetapi bisa juga berbeda dengan yang
dipunyai oleh seseorang sebagai subjek di dalam pengetahuan, pengalaman,
wawasan serta dokumentasi estetiknya. Inilah yang dimaksudkan, agar proses
interaksi antara seseorang sebagai subjek dan karya seni sebagai objek
mempunyai titik temu.
Memang
persoalan yang demikian, terasa agak sedikit rumit untuk mewacana dan
menghadirkan apa yang kita sebut titik temu tadi. Namun paling tidak hal ini
pernah juga disampaikan oleh Bearsley yang pernah dikutip oleh Sal Murgiyanto
di dalam tulisannya tentang tari, paling tidak ada ciri-ciri pengalaman estetik
yang selalu hadir di dalam karya seni, yaitu:
- Perhatian dipusatkan kepada objek penghayatan (karya seni), yang kemudian sepenuhnya mengendalikan pengalaman estetik.
- Memiliki intensitas yang membantu penghayat memusatkan perhatiannya secara terfokus.
- Elemen-elemen penghayatan menyatu secara utuh logis (coherence) dan saling melengkapi (complete one another).
- Bersifat rumit dan kompleks.
- Bersipat detached yang timbul sebagai (a) akibat dari ciri-ciri di atas dan (b) konsekuensi dari sifat alami karya seni.[3]
Di sisi lain,
sifat yang relatif juga akan muncul pada diri seseorang di dalam menilai sebuah
karya seni. Pengaruh waktu, tempat, situasi dan kondisi sangat menentukan juga
terhadap proses penilaian. Sebagai contoh, beberapa karya musik di zaman Barok
akan sangat indah di zamannya. Hal ini didukung oleh situasi dan kondisi ketika
itu, yang mana estetika musiknya dipengaruhi oleh perasaan dan pikiran orang
Barok yang teratur secara harmonis dan rasional. Di dalam musik misalnya,
perasaan diungkapkan oleh angka-angka secara simbolis, harmoni musiknya dibuat
dengan nada rendah sebagai pengiring sepanjang lagu (basso continuo).
Terbit dan terbenamnya matahari, pergantian musim serta kelahiran dan kematian manusia
dipandang oleh orang Barok sebagai sebuah irama yang konstan yang mereka
terapkan di dalam komposisi musiknya.[4]
Fenomena lain yang juga terjadi pada zaman Klasik, di mana cukup banyak seniman
yang dipengaruhi oleh teori estetikanya Plato yang mengatakan, “bahwa irama
adalah suatu ketertiban terhadap gerakan melodi dan harmoni atau ketertiban
terhadap tinggi rendahnya nada-nada”.[5]
Namun ketika
hal yang sama (tentang persoalan nilai) dipertanyakan pada zaman
sekarang—apalagi bertolak pada estetika musik kekinian—jawabannya mungkin saja
iya atau tidak. Di sini terjadi pergeseran nilai sebagaimana yang dimaksudkan
oleh Jakob Sumardjo di atas. Artinya, beberapa hal yang dipergunakan seseorang
didalam menilai sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas—dalam hal ini
musik zaman Barok dan Klasik—tidak akan sama sebagaimana realitas yang pernah
ada pada masa Barok dan Klasik dahulunya. Justru akan dianggap anakronisme yang
tidak “bermutu” bilamana di zaman sekarang membuat karya musik seperti
estetikanya zaman Barok dan Klasik tersebut.
Dengan
demikian, dapatlah dipastikan bahwasanya setiap individu yang dipengaruhi oleh
beberapa hal—baik itu yang datang dari dalam maupun dari luar dirinya—memiliki
perspektif yang berbeda manakala mengapresiasi sebuah karya seni. Dan, sebagai
manusia biasa tentulah memiliki kelebihan serta kekurangnya sebagai makhluk
ciptaan Tuhan. Ini berarti pula, penilaian terhadap suatu karya seni itu
sendiri akan lebih bersifat subjektif ketimbang objektif nantinya.
Ekspresi
Eksperesi
dalam konteksnya dengan karya seni, adalah merupakan suatu cara seorang seniman
mengelola pikiran dan perasaannya sewaktu mewujudkan karya seni tersebut
melalui bantuan medium-medium yang menjadi pilihan untuk dipergunakan.
Penekanannya di sini adalah terdapat pada kata-kata “mengelola pikiran dan
perasaan”, yang mana hal ini mestilah dimiliki oleh seorang seniman di dalam
mewujudkan karya seninya. Sebagai mana hal ini juga pernah disampaikan oleh
Jakob Sumardjo yaitu, “…dalam seni, perasaan harus dikuasai terlebih dahulu,
harus dijadikan objek, dan harus diatur, dikelola serta diwujudkan atau
dieksperesikan di dalam karya seni…”.[6]
Akan tetapi, apa-apa yang hendak dieksperesikan oleh seorang seniman, kadang
kala tidak mewakili atau berada di luar diri seniman itu sendiri. Hal ihwal ini
bisa saja melalui apa-apa yang pernah ia ketahui yang menjadi perasaan
insaniahnya.[7]
Namun kalau
kita singgung apa itu fungsi seni dalam konteksnya sebagai media ekspresi, maka
Veron atau Tolstoy mengatakan “bahwa seni berfungsi untuk mengekspresikan emosi
manusia secara keseluruhan baik itu yang menyenangkan maupun menyedihkan”.[8]
Kata menyenangkan dan menyedihkan yang dimaksud di sini adalah, berada pada
pengertian pengalaman individu yang lebih berkonotasi menjadi kata benda.[9]
Akan tetapi bila dipertanyakan apakah dalam kondisi sedih seorang seniman bisa
membuat karya seni? Maka menurut penulis, kata sedih di sini lebih diposisikan
untuk menyatakan keadaan atau sebagai kata sifat. Menurut Jakob Sumardjo, untuk
membuat sebuah karya seni, seorang seniman haruslah dalam keadaan senang,
gembira dan santai. Jadi, eksperesi menurutnya adalah “mencurahkan perasaan
tertentu dalam suasana perasaan yang gembira”.[10]
Walaupun nantinya karya seni yang dihasilkan juga terdapat eksperesi yang
menyatakan kesedihan.
Pada dasarnya,
sebuah karya seni merupakan pengungkapan konsepsi yang ada di dalam kehidupan,
emosi dan kenyataan batiniah.[11]
Misalnya mengungkapkan keindahan alam di dalam karya seni musik, sebagaimana
yang pernah dilakukan oleh komponis-komponis di zaman Klasik, yang meniru bunyi
alam secara langsung maupun tidak langsung di dalam musik programanya. Ini
adalah merupakan realitas dari eksperesi yang dituangkan oleh seorang seniman
di dalam karyanya sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelumnya. Ekspresi itu
bisa saja berada pada diri senimannya, juga bisa berada pada karya seninya.
Pada diri seorang senimannya, tentu saja eksperesi itu menjadi dokumentasi
pikiran dan perasaan yang ada sebelum karya seni tersebut diwujudkan. Sedangkan
pada karya seninya, eksperesi itu baru dapat dirasakan ketika kita melakukan
apresiasi terhadap karya seni itu sendiri.
Emosi
Mengacu pada
pengertian kata emosi di atas (luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam
suatu waktu), maka di sini emosi berperan memberikan kontribusi rasa kepada
bentuk eksperesi yang akan disampaikan oleh seorang seniman di dalam membuat
karyanya. Emosi juga bisa ditengok sebagai sebuah power, kuasa yang
tersimpan di dalam diri setiap orang. Bagi seorang seniman, emosi yang
diperlukannya adalah emosi yang bisa menstimulasi ekspresinya di dalam
berkarya.
Perasaan
berkembang yang dimaksudkan, bisa saja kita ilustrasikan di mana seorang
seniman merasakan pengembaraan imajinasi sewaktu dalam proses pembuatan karya
seni, yang kadang kala melampaui batas-batas dokumentasi estetik yang ada pada
dirinya. Inilah barangkali apa yang sering kita sebut ketika seorang seniman
sedang mendapat mood yang baik di dalam berkarya. Demikian juga
sebaliknya, di mana perasaan surut juga memberikan pengaruh terhadap daya
ekspresi dari seorang seniman di dalam berkarya seni. Artinya bisa kita
katakan, bahwa emosi seseorang sangat mempengaruhi daya ekspresi yang akhirnya
berdampak kepada karya seni yang dilahirkan.
Pengaruh lain
yang bisa kita telaah dari hal tersebut, berkembang dan surutnya perasaan
seorang seniman sewaktu berkarya, juga memberikan sentuhan dinamika yang terekspresikan
ke dalam karya seni. Secara sederhana, bisa kita berikan contoh manakala
seorang komponis di waktu sedang membuat komposisi musik memberikan tanda P (piano)
yang berarti lembut dan F (forte) yang berarti keras, ini adalah
implementasi dari rasa berkembang dan surutnya ekspresi yang dipengaruhi oleh
emosi ketika seorang komponis membuat karya musiknya. Jadi pada dasarnya, emosi
adalah merupakan hal-hal ataupun meteri yang ingin diekspresikan oleh seorang
seniman di dalam karya seninya.
Kesimpulan
Dari
masing-masing penjelasan singkat di atas, maka dapatlah kita rasakan hubungan
yang berkait-kelindan antara seni, ekspresi dan emosi. Untuk mewujudkan sebuah
karya seni, diperlukan dokumentasi ekspresi bagi seorang seniman yang tidak
terbatas adanya. Ini bisa dimiliki dengan melakukan pencarian-pencarian estetik
dan mengekplorasi potensi-potensi yang ada, baik di dalam ataupun di luar diri
seniman itu sendiri. Emosi yang diekspresikan dan terkelola dengan baik serta
tersistematis, akan memanifestasikan karya-karya seni yang besar dan agung. Seni
tanpa ekspresi, bagaikan gulai tanpa garam. Ekspresi tanpa emosi, bagaikan
hidup tanpa daya.
Jakob Sumardjo, Filsafat Seni,
Bandung: ITB Bandung, 2000.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, cet. 2, Jakarta: Balai
Pustaka, 2002, pp. 291-298-1038.
Langer, Suzanne K, Problematika Seni, terjemahan FX.
Widaryanto, Bandung: Sunan Ambu Press STSI Bandung, 2006.
Prier, Karl-Edmund, Sejarah Musik Jilid 2, Yogyakarta: Pusat
Musik Liturgi, 1993.
Sal Murgiyanto, “Menilai
Pertunjukan Tari: Sebuah Tinjauan Estetik”, Jurnal Seni STSI Bandung,
No. 12/V/1997, p. 1.
Soedarso Sp., Trilogi Seni: Penciptaan, Eksistensi dan Kegunaan,
Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2006.
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, cet. 2,
Jakarta: Balai Pustaka, 2002, pp. 291-298-1038.
[2]
Jakob Sumardjo Sumardjo, Filsafat Seni, (Bandung: ITB, 2000), p. 45.
[3]
Sal Murgiyanto, “Menilai Pertunjukan Tari: Sebuah Tinjauan Estetik”, Jurnal
Seni STSI Bandung, No. 12/V/1997, p. 13.
[4]
Prier, Karl-Edmund, Sejarah Musik Jilid 2, (Yogyakarta: Pusat Musik
Liturgi, 1993), cet. ke-1, p. 8.
[5] Ibid,
p. 79.
[6] Op.
cit., p. 73.
[7] Langer,
Suzanne K, Problematika Seni, terjemahan FX. Widaryanto, (Bandung: Sunan
Ambu Press STSI Bandung, 2006), p. 29.
[8]
Soedarso Sp, Trilogi Seni: Penciptaan, Eksistensi dan Kegunaan Seni,
(Yogyakarta: BP ISI, 2006), p. 54.
[9]
Kata benda di sini bukan berarti harus kasat mata atau berwujud atau tampak.
Melainkan sesuatu yang telah menjadi pengalaman estetik dari individu
senimannya.
[10] Op.
Cit., pp. 73-74.
[11] Loc.
Cit., p. 29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar