oleh: armand rambah




music is a science and an art

Minggu, 08 Maret 2015

Art, Expression and Emotion

Oleh: Armand Rambah
Sekilas judul di atas, dapatlah kita artikan tiga kata tersebut di dalam keseharian kita yaitu seni, ekspresi dan emosi. Mengenai kata seni, cukup banyak sebetulnya pengertian yang dilontarkan oleh para pakar yang dapat kita ambil untuk dijadikan sebuah persepsi atau penjelasannya. Namun secara sederhana, di dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata seni tersebut memiliki pengertian lebih kurang sebagai berikut, seni adalah perlakuan akal dan pikiran untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi (baca: “halus”). Penekanannya di sini adalah kata seni lebih diposisikan sebagai kata kerja. Demikian juga dengan kata ekspresi lebih kurang mempunyai makna bagaimana mengungkapkan atau proses menyatakan sesuatu. Sedangkan kata emosi mempunyai pengertian adalah keadaan luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam suatu waktu.[1] Dari keterangan ini, dapatlah kita rasakan di antara ketiga kata tersebut terdapat sebuah ikatan atau benang merah yang sangat penting sekali, yaitu pikiran dan perasaan. Jadi dalam hal ini, sebuah karya seni sangat memerlukan pikiran yang disalurkan melalui ekspresi maupun emosi (yang mewakili perasaan) untuk selanjutnya dapat dituangkan di dalam proses perwujudan karya seni tersebut.
Membicarakan persoalan seni, paling tidak ada beberapa percabangan seni yang mesti kita sebutkan di dalamnya. Sebut saja misalnya, seni musik, tari, teater, sastra dan seni rupa. Tentulah dengan beberapa percabangan disiplin seni lagi yang termaktub di dalamnya seperti, seni kriya, lukis, patung dan seterusnya. Namun untuk membahas topik persoalan pada setiap percabangan seni serta ekspresi dan emosi yang terkandung di dalamnya, sangatlah tidak memungkinkan pada penulisan yang sangat terbatas ini. Walaupun nantinya juga disinggung beberapa hal yang dianggap urgen dan relevan dengan pokok persoalan yang dibahas. Namun penulis yakin, pada prinsipnya beberapa hal di setiap percabangan seni memiliki persamaan persepsi. Menimbang hal tersebut, maka pada tulisan ini akan lebih mendominasi pada satu bidang seni saja yang menjadi bahasan nantinya, yaitu seni musik.
Di samping itu, penulis menyadari betul bahwasanya kemampuan dan wawasan yang penulis miliki sangatlah tidak memungkinkan untuk menjangkau semua persoalan yang ada pada dunia seni secara menyeluruh. Tentulah dalam hal ini seni musik yang menjadi pilihan adalah lebih dilandaskan pada sebuah wilayah profesi yang senantiasa penulis geluti.

Seni
Mengutip apa yang pernah dituliskan oleh Jakob Sumardjo tentang seni adalah:
Apa yang disebut seni memang merupakan suatu wujud yang terindera. Karya seni merupakan sebuah benda atau artefak yang dapat dilihat, didengar, atau sekaligus dilihat dan didengar (visual, audio, dan audio-visual), seperti lukisan, musik dan teater. Tetapi, yang disebut seni itu berada di luar benda seni sebab seni itu berupa nilai. Apa yang disebut indah, baik, adil, sederhana dan bahagia itu adalah nilai. Apa yang oleh seseorang disebut indah dapat tidak indah bagi orang lain.[2] 
Mencermati uraian di atas, tampaknya Jakob Sumardjo lebih menekankan atau memandang seni itu adalah sebuah nilai yang berada di luar dari seni itu sendiri. Walaupun dinyatakan juga seni itu adalah berupa wujud yang bisa didengar, dilihat maupun kedua-duanya. Sebuah karya seni, baru dikatakan bernilai, apabila dilakukan penilaian, yang nantinya karya seni tersebut bisa merespon pengalaman-pengalaman estetik dari seseorang yang menilainya.
Persoalan menilai suatu karya seni, akan sangat bergantung dari apa yang dimiliki oleh seseorang sebagai bahan pertimbangannya di dalam menilai karya seni tersebut. Pengetahuan, pengalaman, wawasan serta dokumentasi estetik, sangat membantu sekaligus mempengaruhi seseorang di dalam proses menilai. Di samping itu tentunya karya seni sebagai objek, mestilah mempunyai nilai-nilai seni. Nilai-nilai seni ini bisa saja sama, tetapi bisa juga berbeda dengan yang dipunyai oleh seseorang sebagai subjek di dalam pengetahuan, pengalaman, wawasan serta dokumentasi estetiknya. Inilah yang dimaksudkan, agar proses interaksi antara seseorang sebagai subjek dan karya seni sebagai objek mempunyai titik temu.
Memang persoalan yang demikian, terasa agak sedikit rumit untuk mewacana dan menghadirkan apa yang kita sebut titik temu tadi. Namun paling tidak hal ini pernah juga disampaikan oleh Bearsley yang pernah dikutip oleh Sal Murgiyanto di dalam tulisannya tentang tari, paling tidak ada ciri-ciri pengalaman estetik yang selalu hadir di dalam karya seni, yaitu:
  1. Perhatian dipusatkan kepada objek penghayatan (karya seni), yang kemudian sepenuhnya mengendalikan pengalaman estetik.
  2. Memiliki intensitas yang membantu penghayat memusatkan perhatiannya secara terfokus.
  3. Elemen-elemen penghayatan menyatu secara utuh logis (coherence) dan saling melengkapi (complete one another).
  4. Bersifat rumit dan kompleks.
  5. Bersipat detached yang timbul sebagai (a) akibat dari ciri-ciri di atas dan (b) konsekuensi dari sifat alami karya seni.[3] 
Di sisi lain, sifat yang relatif juga akan muncul pada diri seseorang di dalam menilai sebuah karya seni. Pengaruh waktu, tempat, situasi dan kondisi sangat menentukan juga terhadap proses penilaian. Sebagai contoh, beberapa karya musik di zaman Barok akan sangat indah di zamannya. Hal ini didukung oleh situasi dan kondisi ketika itu, yang mana estetika musiknya dipengaruhi oleh perasaan dan pikiran orang Barok yang teratur secara harmonis dan rasional. Di dalam musik misalnya, perasaan diungkapkan oleh angka-angka secara simbolis, harmoni musiknya dibuat dengan nada rendah sebagai pengiring sepanjang lagu (basso continuo). Terbit dan terbenamnya matahari, pergantian musim serta kelahiran dan kematian manusia dipandang oleh orang Barok sebagai sebuah irama yang konstan yang mereka terapkan di dalam komposisi musiknya.[4] Fenomena lain yang juga terjadi pada zaman Klasik, di mana cukup banyak seniman yang dipengaruhi oleh teori estetikanya Plato yang mengatakan, “bahwa irama adalah suatu ketertiban terhadap gerakan melodi dan harmoni atau ketertiban terhadap tinggi rendahnya nada-nada”.[5]
Namun ketika hal yang sama (tentang persoalan nilai) dipertanyakan pada zaman sekarang—apalagi bertolak pada estetika musik kekinian—jawabannya mungkin saja iya atau tidak. Di sini terjadi pergeseran nilai sebagaimana yang dimaksudkan oleh Jakob Sumardjo di atas. Artinya, beberapa hal yang dipergunakan seseorang didalam menilai sebagaimana yang telah kita sebutkan di atas—dalam hal ini musik zaman Barok dan Klasik—tidak akan sama sebagaimana realitas yang pernah ada pada masa Barok dan Klasik dahulunya. Justru akan dianggap anakronisme yang tidak “bermutu” bilamana di zaman sekarang membuat karya musik seperti estetikanya zaman Barok dan Klasik tersebut.
Dengan demikian, dapatlah dipastikan bahwasanya setiap individu yang dipengaruhi oleh beberapa hal—baik itu yang datang dari dalam maupun dari luar dirinya—memiliki perspektif yang berbeda manakala mengapresiasi sebuah karya seni. Dan, sebagai manusia biasa tentulah memiliki kelebihan serta kekurangnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Ini berarti pula, penilaian terhadap suatu karya seni itu sendiri akan lebih bersifat subjektif ketimbang objektif nantinya. 

Ekspresi
Eksperesi dalam konteksnya dengan karya seni, adalah merupakan suatu cara seorang seniman mengelola pikiran dan perasaannya sewaktu mewujudkan karya seni tersebut melalui bantuan medium-medium yang menjadi pilihan untuk dipergunakan. Penekanannya di sini adalah terdapat pada kata-kata “mengelola pikiran dan perasaan”, yang mana hal ini mestilah dimiliki oleh seorang seniman di dalam mewujudkan karya seninya. Sebagai mana hal ini juga pernah disampaikan oleh Jakob Sumardjo yaitu, “…dalam seni, perasaan harus dikuasai terlebih dahulu, harus dijadikan objek, dan harus diatur, dikelola serta diwujudkan atau dieksperesikan di dalam karya seni…”.[6] Akan tetapi, apa-apa yang hendak dieksperesikan oleh seorang seniman, kadang kala tidak mewakili atau berada di luar diri seniman itu sendiri. Hal ihwal ini bisa saja melalui apa-apa yang pernah ia ketahui yang menjadi perasaan insaniahnya.[7]
Namun kalau kita singgung apa itu fungsi seni dalam konteksnya sebagai media ekspresi, maka Veron atau Tolstoy mengatakan “bahwa seni berfungsi untuk mengekspresikan emosi manusia secara keseluruhan baik itu yang menyenangkan maupun menyedihkan”.[8] Kata menyenangkan dan menyedihkan yang dimaksud di sini adalah, berada pada pengertian pengalaman individu yang lebih berkonotasi menjadi kata benda.[9] Akan tetapi bila dipertanyakan apakah dalam kondisi sedih seorang seniman bisa membuat karya seni? Maka menurut penulis, kata sedih di sini lebih diposisikan untuk menyatakan keadaan atau sebagai kata sifat. Menurut Jakob Sumardjo, untuk membuat sebuah karya seni, seorang seniman haruslah dalam keadaan senang, gembira dan santai. Jadi, eksperesi menurutnya adalah “mencurahkan perasaan tertentu dalam suasana perasaan yang gembira”.[10] Walaupun nantinya karya seni yang dihasilkan juga terdapat eksperesi yang menyatakan kesedihan.  
Pada dasarnya, sebuah karya seni merupakan pengungkapan konsepsi yang ada di dalam kehidupan, emosi dan kenyataan batiniah.[11] Misalnya mengungkapkan keindahan alam di dalam karya seni musik, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh komponis-komponis di zaman Klasik, yang meniru bunyi alam secara langsung maupun tidak langsung di dalam musik programanya. Ini adalah merupakan realitas dari eksperesi yang dituangkan oleh seorang seniman di dalam karyanya sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelumnya. Ekspresi itu bisa saja berada pada diri senimannya, juga bisa berada pada karya seninya. Pada diri seorang senimannya, tentu saja eksperesi itu menjadi dokumentasi pikiran dan perasaan yang ada sebelum karya seni tersebut diwujudkan. Sedangkan pada karya seninya, eksperesi itu baru dapat dirasakan ketika kita melakukan apresiasi terhadap karya seni itu sendiri.

Emosi
Mengacu pada pengertian kata emosi di atas (luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam suatu waktu), maka di sini emosi berperan memberikan kontribusi rasa kepada bentuk eksperesi yang akan disampaikan oleh seorang seniman di dalam membuat karyanya. Emosi juga bisa ditengok sebagai sebuah power, kuasa yang tersimpan di dalam diri setiap orang. Bagi seorang seniman, emosi yang diperlukannya adalah emosi yang bisa menstimulasi ekspresinya di dalam berkarya.
Perasaan berkembang yang dimaksudkan, bisa saja kita ilustrasikan di mana seorang seniman merasakan pengembaraan imajinasi sewaktu dalam proses pembuatan karya seni, yang kadang kala melampaui batas-batas dokumentasi estetik yang ada pada dirinya. Inilah barangkali apa yang sering kita sebut ketika seorang seniman sedang mendapat mood yang baik di dalam berkarya. Demikian juga sebaliknya, di mana perasaan surut juga memberikan pengaruh terhadap daya ekspresi dari seorang seniman di dalam berkarya seni. Artinya bisa kita katakan, bahwa emosi seseorang sangat mempengaruhi daya ekspresi yang akhirnya berdampak kepada karya seni yang dilahirkan.
Pengaruh lain yang bisa kita telaah dari hal tersebut, berkembang dan surutnya perasaan seorang seniman sewaktu berkarya, juga memberikan sentuhan dinamika yang terekspresikan ke dalam karya seni. Secara sederhana, bisa kita berikan contoh manakala seorang komponis di waktu sedang membuat komposisi musik memberikan tanda P (piano) yang berarti lembut dan F (forte) yang berarti keras, ini adalah implementasi dari rasa berkembang dan surutnya ekspresi yang dipengaruhi oleh emosi ketika seorang komponis membuat karya musiknya. Jadi pada dasarnya, emosi adalah merupakan hal-hal ataupun meteri yang ingin diekspresikan oleh seorang seniman di dalam karya seninya.  

Kesimpulan
Dari masing-masing penjelasan singkat di atas, maka dapatlah kita rasakan hubungan yang berkait-kelindan antara seni, ekspresi dan emosi. Untuk mewujudkan sebuah karya seni, diperlukan dokumentasi ekspresi bagi seorang seniman yang tidak terbatas adanya. Ini bisa dimiliki dengan melakukan pencarian-pencarian estetik dan mengekplorasi potensi-potensi yang ada, baik di dalam ataupun di luar diri seniman itu sendiri. Emosi yang diekspresikan dan terkelola dengan baik serta tersistematis, akan memanifestasikan karya-karya seni yang besar dan agung. Seni tanpa ekspresi, bagaikan gulai tanpa garam. Ekspresi tanpa emosi, bagaikan hidup tanpa daya.  

Daftar Pustaka
Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung: ITB Bandung, 2000.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, cet. 2, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, pp. 291-298-1038.
Langer, Suzanne K, Problematika Seni, terjemahan FX. Widaryanto, Bandung: Sunan Ambu Press STSI Bandung, 2006.
Prier, Karl-Edmund, Sejarah Musik Jilid 2, Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 1993.
Sal Murgiyanto, “Menilai Pertunjukan Tari: Sebuah Tinjauan Estetik”, Jurnal Seni STSI Bandung, No. 12/V/1997, p. 1. 
Soedarso Sp., Trilogi Seni: Penciptaan, Eksistensi dan Kegunaan, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2006.

[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, cet. 2, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, pp. 291-298-1038.
[2] Jakob Sumardjo Sumardjo, Filsafat Seni, (Bandung: ITB, 2000), p. 45.
[3] Sal Murgiyanto, “Menilai Pertunjukan Tari: Sebuah Tinjauan Estetik”, Jurnal Seni STSI Bandung, No. 12/V/1997, p. 13. 
[4] Prier, Karl-Edmund, Sejarah Musik Jilid 2, (Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi, 1993), cet. ke-1, p. 8.
[5] Ibid, p. 79.
[6] Op. cit., p. 73.
[7] Langer, Suzanne K, Problematika Seni, terjemahan FX. Widaryanto, (Bandung: Sunan Ambu Press STSI Bandung, 2006), p. 29.
[8] Soedarso Sp, Trilogi Seni: Penciptaan, Eksistensi dan Kegunaan Seni, (Yogyakarta: BP ISI, 2006), p. 54.
[9] Kata benda di sini bukan berarti harus kasat mata atau berwujud atau tampak. Melainkan sesuatu yang telah menjadi pengalaman estetik dari individu senimannya.
[10] Op. Cit., pp. 73-74.
[11] Loc. Cit., p. 29.

Evaluasi Penampilan Ujian Komposisi Semester Ganjil 2013/2014 Mahasiswa AKMR

Satu hal yang mesti kita banggakan adalah bergesernya paradigma berpikir para komposer muda yang notebene adalah mahasiswa/wi akmr dan stsr tentang komposisi musik. Hal ini dapat dilihat mulai dari konsep komposisi yang dibangun sampai pada pemilihan instrumen jelas terlihat adanya peran intelektual yang tentunya dibangun melalui dunia pendidikan. Mereka tidak hanya berhasil mengkolaborasikan aspek hardware (instrumen musik), namun juga aspek software dari sebuah karya komposisi musik terdedahkan secara apik pada malam pertunjukan yang dimulai dari tanggal 27 sampai 31 Januari 2014 di hall gedung Dewan Kesenian Riau.
Pemakaian instrumen musik Barat yang digabungkan dengan instrumen musik Timur sesungguhnya bukanlah hal yang baru dilakukan oleh mahasiswa/wi AKMR. Hal ini setidaknya sudah berlangsung lebih dari 7 tahun yang dilakukan baik di setiap ujian semester maupun ujian tugas akhir. Tentu hal ini juga merupakan efek dari matakuliah instrumen mayor yang orientasinya instrumen musik Barat dengan instrumen musik Melayu yang orientasinya pada instrumen musik Melayu Riau. Dalam konteks ini tentu kita tidak bisa mengabaikan begitu saja keberadaan dari institusi AKMR.

Hitam Putih Kali Ke-8


Oleh: Armand Rambah
Malay Music Institute sebagai pihak pelaksanaan helat seni Hitam Putih kembali melaksanakan kegiatan tersebut pada hari Rabu tanggal 28 s.d. hari Sabtu tanggal 31 Mei 2014. Mulai dari tanggal 28 Mei 2014 malam, helat ini sudah dibuka dengan kegiatan technical meeting dengan peserta workshop yang diadakan di gedung serba guna Taman Budaya Propinsi Riau. Untuk selanjutnya pada hari Kamis dan Jumat tanggal 29 s.d. 30 Mei 2014 kegiatan workshop mulai dilakukan bertempat di rumah tari yang berada di lingkungan Taman Budaya tersebut. Puncak dari helat Hitam Putih ini adalah penampilan bersama peserta workshop dan beberapa grup musik yang sengaja diundang oleh pihak panitia pada hari Sabtu malam tanggal 31 Mei 2014 yang diselenggarakan di Anjungan Seni Idrus Tintin.
Even seni musik yang sudah terselenggara sejak dari tahun 2003 hingga 2009 dan terhenti dari tahun 2010 sampai 2013 tidak bisa dipungkiri adalah sudah menjadi milik dan kebanggaan masyarakat Riau. Terlaksananya kembali helat Hitam Putih ke-8 tahun 2014 ini, tentu tidak terlepas dari kerja keras Malay Music Institute sebagai pihak penyelenggara yang mampu meyakinkan pemerintah pusat untuk memberikan dana APBN guna terselenggaranya kegiatan ini. Untuk hal itu, mestilah diberikan apresiasi.
Pada kegiatan ini panitia membuat tema dari acara tersebut adalah Malay Melodies. Ekspektasi yang hendak dicapai pada awalnya adalah bagaimana nantinya peserta workshop dapat mempelajari bagaimana teknik bermain alat melodis Melayu tersebut. Namun melihat kondisi peserta workshop yang rata-rata memang sudah piawai di dalam memainkan alat musik Melayu itu, maka materi workshop dirubah menjadi bagaimana cara membuat komposisi musik. Perubahan ini didasari oleh banyaknya minat peserta, yang notabene adalah generasi muda, terhadap persoalan komposisi musik ini. Apalagi wacana tentang hal ini jarang sekali diadakan di luar lingkungan kampus seni musik yang memang merupakan suatu keharusan di dalam sebaran matakuliahnya. Tentu dengan kondisi skill permainan yang baik dari peserta workshop ini, akan lebih memudahkan instruktur untuk menyampaikan materi di dalam proses latihan nantinya. Dan, begitulah pada kenyataannya.
Tema Malay Melodies yang diusung oleh pihak panitia pada even Hitam Putih kali ini, secara sederhana dapat dipahami dengan bagaimana menghasilkan melodi-melodi Melayu baik itu menggunakan instrumen musik Melayu maupun non-Melayu. Beberapa instrumen musik Melayu atau instrumen musik yang sudah merupakan ciri khas musik Melayu, di antaranya adalah biola, gambus, akordion, perkusi Melayu (bebano, kompang, gendang panjang atau gendang silat dan marwas). Sedangkan instrumen musik non-Melayu, digunakan juga flute, cello dan mandolin sebagai tambahannya.
Ada lima orang yang ditunjuk sebagai pemateri pada acara Hitam Putih kali ke-8 ini. Tiga di antaranya ialah seniman musik yang berasal dari Pekanbaru yaitu, SPN Zuarman Ahmad, SPN Armand Rambah (penulis sendiri), Rino Dezapati Riau, Armen dari Jakarta dan Jart Hassan dari negeri serumpun Malaysia. Namun pada acara workshop komposisi musik berlangsung, hanya empat orang dari pemateri yang pemaparkan hal ihwal tentang persoalan komposisi musik tersebut. Sedangkan pemateri dari Malaysia tidak jadi hadir sebagai nara sumber komposisi musik.
Panitia sengaja mengundang peserta workshop yang berasal dari kabupaten/kota yang berada di Propinsi Riau ini. Akan tetapi sangat disayangkan tidak semua kabupaten/kota dapat mengutus pesertanya untuk dapat menghadiri kegiatan ini. Hanya Kabupaten Meranti, Pelalawan dan Dumai saja yang mengirim utusannya untuk ikut acara workshop tersebut, sedangkan selebihnya adalah peserta yang dikondisikan. Maksudnya adalah dalam pengertian seniman musik yang berasal dari kabupaten-kabupaten yang ada di Riau namun sudah bermastautin di Pekanbaru. Barangkali hal ini disebabkan oleh persiapan yang tidak terlalu panjang di dalam proses pelaksanaan. Namun walaupun demikian, acara workshop yang berlangsung dua hari tersebut tetap mencapai target yang telah ditentukan.
Pada hari Sabtu tanggal 31 Mei 2014 malam merupakan malam puncak dari perhelatan Hitam Putih kali ke-8 ini. Di mana ditampilkan beberapa pertunjukan musik di antaranya adalah penampilan hasil workshop yang telah dilakukan sebelumnya. Di samping itu ada juga penampilan dari kelompok lainnya seperti Grup Batin Galang dari Kepulauan Meranti, Riau Rhythm dari Pekanbaru dan Field Player dari Malaysia.
Bila dicermati pada malam pertunjukan tersebut, ada satu hal yang perlu dievaluasi dari aspek materi yang ditampilkan. Tentu yang dimaksud adalah korelasinya dengan subtansi orientasi dari konsep iven Hitam Putih ini. Sepengetahuan penulis yang pernah mengikuti acara Hitam Putih ini dari awal, agaknya kali ke-8 pelaksanaan Hitam Putih ini mengalami pereduksian nilai dari konsep materi pertunjukannya. Tentu tidak dalam rangka meniadakan apalagi merendahkan sesuatu. Nampak jelas materi yang dibawakan oleh grup Batin Galang yang berasal dari Kepulauan Meranti dan Field Player dari Malaysia, menurut penulis out of context dari konsep Hitam Putih yang terdahulu. Walaupun Riau Rhythm secara konsep dapat diterima namun penampilannya agak terkesan seperti grup musik populer.
 Akhirnya, diperlukan sosialisasi mengenai konsep dari Hitam Putih ini kepada para peserta yang direkomendasi untuk tampil pada perhelatan ini. Jikalau diperlukan, mestilah ditata ulang kembali dan didefenisikan apa-apa yang menjadi orientasi serta harapan yang hendak dicapai dari helat ini. Agar peristiwa yang diulang-ulang, tidak menjadi perlakuan yang sia-sia demi tercapainya kualitas dari seni musik itu sendiri. Bak kata pepatah “minyak habis gulai tak sedap”. Tentu bukan ini yang diharapkan.