Oleh: Armand Rambah
Introduction
Judul tulisan di atas, merupakan jabaran
dari tema yang telah ditetapkan oleh pihak panitia penyelenggara dalam kegiatan
kali ini. Tentu ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu pengertian dari hal di
atas, yaitu apa yang dimaksud dengan “musik tradisional” dan apa pula yang
dimaksud dengan “era globalisasi” sebagai kata kuncinya. Hal ini dimaksudkan agar
pemahaman selanjutnya lebih terarah dan memiliki persepsi yang sama tentang
persoalan tersebut.
Musik tradisional secara sederhana
dapat dipahami adalah musik-musik yang hidup dan berkembang pada suatu
komunitas masyarakat dan lazimnya diwarisi secara turun-temurun. Musik
tradisional biasanya juga merupakan aspek pendukung dari suatu sistem
kebudayaan yang terkadang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Baik itu
yang bersifat sakral, misalnya ritual pengobatan, maupun hanya untuk hiburan saja.
Dengan demikian, musik tradisional menjadi sangat penting bagi keberadaan dan keberlangsungan
suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang pada suatu komunitas masyarakat.
Untuk selanjutnya adalah apa yang
dimaksud dengan “era globalisasi”. Terminologi dari kata era, dapat dimaknai
dengan masa, zaman, waktu yang terjadi dalam kurun tertentu. Sedangkan
globalisasi, dapat dimaknai suatu proses yang akan menunju ke dalam ruang
lingkup yang lebih luas. Dengan demikian, era globalisasi dapat dipahami yaitu
suatu masa yang berada dalam ruang lingkup dunia. Bila dikaitkan dengan judul
tulisan di atas, maka dapatlah dipahami bahwa musik tradisional akan menuju
atau berada pada kondisi ruang lingkup yang lebih luas, yaitu dunia.
Situasi dan kondisi era
globalisasi juga sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi informasi, yang
berdampak terjadinya fenomena yang sama, serentak dan seketika. Apa yang
terjadi di belahan dunia lain, di saat yang sama, serentak dan seketika itu
juga kita dapat menyaksikannya. Konser musik di Vienna, Berlin, Paris, di saat yang
sama akan dapat disaksikan oleh berjuta pasang mata dan telinga walaupun mereka
tidak sedang berada di tempat yang sama. Fenomena ini justru menembus sekat-sekat
ruang pribadi yang tidak terbantahkan lagi realitasnya. Artinya jarak dan waktu,
sudah tidak menjadi kendala lagi untuk kita mendapatkan akses informasi tentang
berbagai hal.
First Theme
Bila ditilik lagi tentang musik
tradisional dalam konteksnya dengan era globalisasi, maka setidaknya ada dua pertanyaan
dasar yang mesti dinyatakan. Namun perlu dijelaskan dalam tulisan ini, bahwa
musik tradisional yang dimaksud adalah musik tradisional Melayu Riau, agar
tidak menjeneralisir seluruh musik tradisional yang ada di berbagai daerah
lainnya. Adapun pertanyaan tersebut yaitu: 1) Apakah musik tradisional Melayu
Riau mampu berada pada ruang musik dunia yang notebene sangat kompetitif dengan
berbagai bentuk kreatifitas, pengaruh dan perkembangannya?; 2) Dalam wujud
seperti apakah musik tradisional Melayu Riau agar dapat bersaing maupun
bersanding dengan musik-musik dari belahan dunia lainnya?
Dari dua pertanyaan di atas dan
dikaitkan dengan judul tulisan di atas, dapat ditarik benang merah dan
substansinya yaitu bahwa musik tradisional Melayu Riau dituntut memiliki posisi
tawar (bargaining position). Pertanyaan
selanjutnya, posisi tawar seperti apakah yang dimaksud? Untuk hal ini adalah,
posisi tawar dari musik tradisional Melayu Riau dalam bentuk ataupun wujud yang
kreatif, inovatif dan kekinian, baik dari aspek teks maupun konteks musikalnya.
Aspek teks musikal yang dimaksud
adalah menyangkut tentang unsur-unsur pembentuk musik, misalnya melodi, ritme,
harmoni, timbre dan lain sebagainya. Sedangkan aspek konteks musikal, yaitu
menyangkut tentang konsep penciptaan dari suatu karya musik. Dalam hal ini,
secara sederhana orientasi dari penciptaan musik dapat diarahkan dalam dua
bentuk, yaitu musik abstrak (ide penciptaannya murni berasal dari dalam musik
itu sendiri dengan menggunakan berbagai teknik komposisi) dan musik programa
(ide penciptaannya berasal dari luar musik, biasanya dari berbagai fenomena
alam).[1]
Interlude
Sebelum membahas lebih lanjut, hal
penting lainnya yang perlu dipahami, yaitu bagaimana mengkolaborasikan musik
Barat dan musik Timur, dalam hal ini musik tradisional Melayu Riau, baik hardware maupun software nya. Menciptakan musik dengan menggunakan teori dan
instrumen musik Barat, bukan berarti menjadi kebarat-baratan. Demikian
sebaliknya, menciptakan musik dengan menggunakan instrumen musik tradisional
apakah lalu dapat dikatakan “membumi”? Tentu diperlukan telaah dan diskusi yang
panjang-lebar untuk menjawabnya, dan itupun sifatnya sangat subyektif. Namun yang
terpenting adalah bagaimana kita dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada
pada musik lokal kita dengan menggunakan teori-teori musik yang sudah mapan
tentunya. Sikap a priori yang terlalu
berlebihan terhadap budaya yang datangnya dari Barat, justru akan menciptakan
garis pembatas bagi kita di dalam mengembang potensi-potensi budaya yang ada.
Tentu kita tidak mau bilamana kekayaan
musik lokal kita hanya dimanfaatkan oleh orang luar dalam karya komposisi musik
mereka. Sebagaimana hal ini telah dilakukan oleh Colin McPhee yang mengangkat
idiom musik Bali pada karyanya, yang terdiri dari tiga bagian tersebut, yaitu Ostinatos, Nocturne dan Finale. Pada karya tersebut terdengar
jelas bagaimana idiom-idiom Bali justru, menurut penulis, menjadi terjulang dan
megah. Walaupun realitasnya di dalam karya tersebut banyak menggunakan teknik
dan instrumen musik Barat. Jadi sekali lagi ditegaskan, dalam konteks yang
sama, pengkolaborasian musik Barat dan musik tradisional Melayu Riau adalah
suatu keniscayaan dalam menghadapi era globalisasi yang semakin kompetitif dan
terbuka ini.
Second Theme
Mencermati pertanyaan pertama
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, tentu jawabannya dapat dipastikan pada
kenyataannya musik trasional Melayu Riau telah ada dan berada pada wilayah yang
disebut era globalisasi itu. Hal ini dapat dilihat dari berbagai festival
musik, baik yang diadakan di dalam maupun luar negeri, yang mengikutsertakan
musik tradisional Melayu Riau di dalamnya. Sebut saja misalnya helat musik
Hitam Putih, Malacca Strait Jazz Festival,
Satu Bumi Beribu Bunyi, Festival Gendang, dan sederat kegiatan lainnya di mana indigenous Melayu Riau ini juga
ditampilkan di berbagai negara yang ada di Eropa sana. Tentulah tidak dapat
disebutkan satu persatu dari kegiatan tersebut. Intinya, sadar atau tidak
disadari, sesungguhnya musik tradisional Melayu Riau telah nyata ada dan berada
di tengah-tengah musik dunia (era globalisasi).
Persoalan selanjutnya adalah
pertanyaan kedua, yaitu apakah musik tradisional Melayu Riau mampu bersaing
ataupun bersanding dengan musik-musik dari belahan dunia lainnya. Untuk
menjawab pertanyaan ini, parameter ukurnya sangat sulit dijabarkan, mengingat
penilaian terhadap suatu karya seni sangat bersifat subyektif tergantung dari
siapa dan dari sudut pandang mana suatu karya seni itu dilihat. Namun dalam
konteks ini, akan lebih bijak bilamana persoalan tersebut dipotret dari wujud
kreatifitas pada karya musik yang dihasilkan. Maksudnya adalah dalam bentuk gramatika
dan estetika dari suatu karya musik yang dihasilkan.
Dalam hubungannya dengan
kreatifitas penciptaan, satu persoalan kita hari ini yang terkadang masih
mengganjal adalah tentang etika (pantang larang), yang masih terjadi di
berbagai daerah di Riau ini. Walaupun menurut penulis, hal ini terkadang
terkesan mitos yang tidak jelas asal-usulnya. Sebagai contoh, masih adanya
pernyataan bahwasanya musik tradisional ini tidak boleh ditambah apalagi
dirubah, karena akan merusak bentuk aslinya. Tentu hal ini dapat dipahami
bilamana musik tersebut difungsikan dalam konteks peristiwa yang dapat dianggap
sakral. Misalnya musik yang terintegrasi dengan berbagai ritual seperti
pengobatan dan lain sebagainya. Namun bila musik tersebut hanya difungsikan
sebagai hiburan saja, menurut penulis hal ini terlalu berlebihan dan justru
akan menghambat suatu kreatifitas yang diinginkan. Demi untuk mempertimbangkan pernyataan
yang realitasnya masih ada ini, maka sebaiknya kreatifitas dilakukan pada musik
tradisional yang difungsikan dalam konteks yang tidak sakral saja. Agar tidak
disebut kualat.
Eksplorasi terhadap berbagai unsur
musikal, adalah salah satu bentuk kreatifitas yang dapat dilakukan dalam rangka
penciptaan suatu karya musik. Sebut saja misalnya elaborasi terhadap aspek melodi,
ritme, harmoni, timbre (warna bunyi), bentuk, tempo dan dinamika. Menurut
pengamatan penulis, banyak komposer yang ada di Riau, khususnya di Pekanbaru,
masih belum maksimal menggali berbagai potensi yang ada di dalam unsur-unsur
musik sebagaimana tersebut di atas. Seluruh aspek musik tersebut, dapat
dieksplor agar mendapatkan gramatika dan estetika yang maksimal dari suatu
karya musik.
Meskipun untuk menguraikan secara
detail dari setiap aspek musikal tersebut, akan memerlukan ruang yang lebih
panjang lagi. Namun secara singkat akan dijelaskan dengan harapan agar di dalam
mengelaborasi setiap aspek musikal tersebut mendapatkan sedikit stimulasi.
1. Aspek
Melodi
Banyak pendapat para komposer yang
menyatakan bahwasanya melodi adalah jiwa dari pada musik. Hal ini dapat
dibuktikan tanpa melodi, musik tersebut susah dikenali dan tidak memiliki tema
atau substansi yang dapat dirasakan oleh para pendengarnya sebagai suatu kesan.
Perlu dipahami, musik adalah peristiwa bunyi yang dilakukan oleh tingkat
kesadaran dan daya kreasi manusia yang telah mengalami modifikasi, dan melodi
ada di dalamnya. Di samping itu, bilamana melodi diciptakan terlebih dahulu,
maka akan memudahkan regulasi pada aspek musikal lainnya.
Sebagaimana kita ketahui, melodi
adalah unsur musik yang terjadi secara horizontal, di mana di dalamnya
terkandung elemen pembentuk, yaitu desain ritme dan pola nada. Pada hal inilah
kreatifitas dapat dilakukan dengan cara memodifikasi dua elemen tersebut. Cara
untuk mendesain ritme, tentu dengan menggabungkan (utak-atik) beberapa nilai
not yang ada, mulai dari nilai not terbesar sampai dengan nilai not terkecil.
Perhatikan notasi berikut.[2]
Notasi
1: Desain ritme yang menggabungkan beberapa nilai not.
Desain ritme di atas, masih dapat dimodifikasi lagi
dengan berbagai cara di antaranya dengan merubah nilai not, menambahkan tanda
diam di awal, di tengah ataupun di akhirnya.
Untuk selanjutnya, dari desain
ritme di atas, maka akan dapat dibentuk suatu motif melodi dengan memasukkannya
pada garis paranada untuk mendapatkan pola nadanya. Pada contoh berikut, dalam
rangka mendapat pola nada tersebut, hanya akan digunakan lima nada saja yang
ada di dalam tangganada E phrygian major,
yaitu nada E-F-Gis-A-B. Di mana kelima nada ini, menurut penulis, dapat
memunculkan nuansa kemelayuan dan lazim dipakai di banyak lagu Melayu yang
bertangganada minor. Perhatikan notasi berikut.
Notasi
2: Motif melodi dengan pola nada E-F-Gis-A-B.
Motif melodi di atas dapat
dikembangkan lagi dengan berbagai teknik yang ada, misalnya teknik repetisi,
sekuens, augmentasi, diminuisi, inversi, retrograde,
dan lain sebagainya. Selain dari itu, pengaturan gerak melodi juga perlu
dilakukan secara proporsional, dalam pengertian seimbang antara gerak melangkah
(step) dan gerak melompat (leap). Gerak melompat yang terlalu
sering, akan menghasilkan kontur melodi yang kurang baik. Lazimnya, setelah
gerak melompat sebaiknya dilakukan gerak melangkah.
2. Aspek
Ritme
Sebagaimana aspek melodi, aspek
ritme juga memiliki elemen pembentuknya, yaitu waktu (background) dan bunyi (foreground).
Aspek ritme, sangat gayut sekali dengan aspek melodi, yang mana ianya juga menjadi
elemen pembentuk dari melodi itu sendiri. Namun yang perlu dicermati pada aspek
ritme ini adalah bagaimana mendesain elemen waktu atau durasi yang menjadi
substansi dari aspek ritme ini. Hal ini pernah dikatakan oleh Olivier Messiaen
bahwasanya akar musik yang sebenarnya adalah ritme, karena ritme secara
langsung berhubungan dengan dimensi waktu. Di dalam musik, waktu tersebut dapat
diwujudkan dalam bentuk bunyi maupun diam. Artinya, pengaturan antara bunyi dan
diam tersebut haruslah menjadi pertimbangan penting di dalam mendesain ritme yang
proporsional. Ini semua memerlukan dokumentasi estetik (rasa) serta perlakuan
yang kontinyu (pengalaman).
Pada musik tradisioanl Melayu
Riau, aspek ritme sangatlah beragam yang dapat dijadikan subject matter dari ide penciptaan karya komposisi baru yang
berangkat dari idiom lokal tersebut. Pola ritme yang sudah lazim digunakan pada
musik Melayu misalnya langgam, zapin, inang, dan joget, dapat dielaborasi lagi
dalam bentuk kekinian dengan mendesain pola ritmenya menjadi bentuk lain. Tentu
dengan tidak meninggalkan rasa dari setiap pola ritme itu sendiri. Pengolahan
pola ritme yang kreatif akan memunculkan bentuk baru dari pola ritme yang
selama ini digunakan pada musik tradisional Melayu Riau.
3. Aspek
Harmoni
Hal lain yang dapat dilakukan
dalam konteks kreatifitas terhadap musik tradisional Melayu Riau ini, adalah
dari aspek harmoninya. Menurut beberapa penelitian, bahwasanya musik tradisional
yang ada di wilayah Timur, termasuk Indonesia dan Riau tentunya, tidak terdapat
atau setidaknya kurang mengembangkan aspek harmoni ini. Bila dicermati, memang musik-musik
yang ada di wilayah Timur justru lebih didominasi pengembangan dari aspek
melodi dan pola ritmenya. Ini dapat dilihat pada karya-karya musik yang berasal
dari Timur Tengah.
Hal yang sama juga terdapat pada
musik tradisional Melayu Riau, misalnya musik zapin. Dilihat dari instrumen
yang digunakan pada musik ini, yaitu gambus dan marwas, memang dapat dirasakan
bahwasanya aspek harmoni tidak akan terbentuk, bila hanya dengan satu instrumen
melodis (gambus) dan beberapa perkusi (marwas) saja. Lazimnya, harmoni dalam bentuk
akor, akan wujud bilamana dua nada atau lebih dibunyikan secara bersamaan. Itu
artinya, diperlukan minimal dua instrumen yang dapat menghasilkan dua garis
melodi.[3]
Dalam perihal tersebut di ataslah aspek
harmoni itu dapat dimuatkan dan dikembangkan pada karya-karya musik tradisional
Melayu Riau, dengan menggunakan progresi akor diatonis, non-diatonis, konsonan maupun
disonan.[4]
Sebagaimana hal ini juga sudah dilakukan pada banyak genre musik yang ada di
dunia ini. Pada akhirnya, harmoni akan
membentuk sekaligus memperkaya ruang (space)
daripada musik tradisional Melayu Riau tersebut.
4. Aspek
Timbre (warna bunyi)
Persoalan timbre tidak hanya
sebatas persoalan warna bunyi yang dihasilkan. Lebih daripada itu, timbre
merupakan unsur musik yang mutlak adanya pada suatu karya musik. Analoginya adalah,
timbre merupakan manifestasi daripada ragam bunyi, sedangkan bunyi itu sendiri
dihasilkan oleh media bunyi, baik vokal maupun instrumen musik. Ini artinya,
secara tidak langsung timbre dihasilkan oleh media bunyi tersebut. Mengingat
material dari musik itu adalah bunyi yang dihasilkan oleh media bunyi, menurut
penulis, maka tanpa adanya timbre sesungguhnya karya musik itu tidak ada.
Agaknya alasan inilah yang membuat Aaron Copland, komposer Amerika, memasukkan
timbre menjadi unsur dasar pembentuk suatu karya musik.
Dalam hubungannya dengan kreatifitas
penciptaan musik tradisional Melayu Riau, maka perihal timbre perlu
dipertimbangkan dari dua hal, yaitu apa yang disebut dengan kualitas timbre dan
kuantitas timbre. Kualitas timbre adalah warna bunyi yang dihasilkan oleh media
bunyi yang sama, namun dengan pemain yang berbeda. Misalnya melodi yang sama,
dimainkan pada register yang sama dengan dua instrumen yang sama pula, namun
oleh pemain yang berbeda, akan menghasilkan timbre yang berbeda. Hal ini
disebabkan oleh teknik memainkannya (skill
pemain) dan kualitas dari sumber bunyinya. Sedangkan kuantitas timbre adalah
warna bunyi yang dihasilkan oleh media bunyi yang berbeda. Misalnya melodi yang
sama, dimainkan pada register yang sama, namun dengan instrumen yang beragam,
dapat dipastikan timbre yang dihasilkan berbeda.
Dengan adanya pemahaman tentang hal
ini, maka warna bunyi dari musik tradisional Melayu Riau dapat ditata dengan
berbagai instrumen musik yang ada.
Pengkolaborasian dari berbagai alat musik, baik instrumen musik lokal
maupun dari luar yang telah dilakukan, adalah suatu perlakuan yang bijak.
Tentulah dengan perlakuan yang profesional dan proporsional.
5. Aspek
Bentuk
Bilamana membicarakan aspek
bentuk, maka secara implisit di dalamnya termaktub persoalan struktur dan
desain. Pembahasan struktur dan desain di dalam musik, sangat komplit dan
rumit, karena mau tidak mau akan bersinggungan dengan perlakuan analisis dari
teks musikal. Namun dalam kesempatan kali ini, aspek bentuk musik akan
dijelaskan dalam perspektif tekstur musik saja.
Setidaknya secara umum ada tiga
tekstur musik yang dapat dijelaskan dalam konteks penciptaan komposisi musik,
yaitu monophonic, homophonic, dan polyphonic. Monophonic adalah karya musik yang terdiri dari satu suara saja
tanpa ada pengiring. Selanjutnya, homophonic
adalah karya musik yang terdiri dari beberapa suara, namun hanya satu suara
yang mendominasi sementara suara yang lainnya hanya difungsikan sebagai
pengiring saja. Sedangkan polyphonic,
adalah karya musik yang terdiri dari beberapa suara yang masing-masing suara
tersebut sama-sama aktifnya. Pada musik polyphonic,
pengetahuan tentang teknik kontrapung (counterpoint),
sangat dibutuhkan di dalam perwujudannya.
Kaitannya dengan proses kreatif
untuk musik tradisional Melayu Riau, dapat memilih salah satu di antara tiga
tekstur sebagaimana tersebut di atas. Menurut pengamatan penulis, pada musik
tradisional Melayu Riau sangat banyak menggunakan tekstur dalam bentuk monophonic dan homophonic, sedangkan dalam bentuk polyphonic sangat jarang dijumpai. Barulah beberapa tahun terakhir
muncul karya-karya musik baru yang mengangkat idiom musik Melayu Riau dalam
bentuk polyphonic. Hal ini dapat dilihat
pada beberapa karya musik yang telah diciptakan oleh mahasiswa Akademi Kesenian
Melayu Riau (AKMR). Intinya, bentuk musik dalam tekstur polyphonic perlu dipertimbangkan dan dilanjutkan untuk proses
penciptaan karya-karya musik baru yang berangkat dari idiom musik tradisional
Melayu Riau.
6. Aspek
Tempo dan Dinamika
Di dalam komposisi musik,
diperlukan suasana kontras antara satu bagian dengan bagian lainnya. Hal ini
dapat dilakukan dengan melakukan permainan tempo dan dinimika. Akan sangat
monoton bilamana suatu karya musik hanya memakai satu macam tempo dan dinamika
saja. Sensorik auditif manusia pasti dapat membedakan mana tempo yang lambat
ataupun cepat. Demikian juga halnya dengan dinamika, mana dinamika yang lembut
ataupun keras.
Pada teori musik Barat, persoalan
tempo dan dinamika ini sangat diakomodir dengan banyaknya pilihan yang ada. Perihal
tempo misalnya, mulai dari grave, largo,
adagio, lento, andante, andantino, moderato, allegretto, allegro, vivace,
presto sampai prestissimo. Sedangkan
untuk dinamika, mulai dari ppp, pp, p,
mp, mf, f, ff, sampai fff. Selain
dari itu, untuk perubahan dinamika yang sifatnya khusus ditandai dengan
perintah crescendo, decrescendo atau diminuendo, dan sforzando.[5]
Kaitannya dengan proses kreatif
penciptaan musik, gramatika musik Barat ini dapat dipakai agar aspek tempo dan
dinamika yang ada pada musik tradisional Melayu Riau lebih terelaborasi lagi.
Sehingga nantinya, karya-karya baru yang berpaksi pada indigenous Melayu Riau ini menjadi lebih variatif dan kreatif.
Coda
Simpulan dari beberapa hal yang
telah dijelaskan di atas, adalah diperlukan kreatifitas di dalam mengolah
berbagai aspek musikal, agar dapat memunculkan menu lain dari komposisi musik
dalam bentuk baru tanpa harus mengganggu kekayaan lokal yang sudah ada. Satu
sisi mempertahankan kearifan lokal adalah suatu keniscayaan, namun di sisi yang
lain, mengembangkan kearifan lokal tersebut juga merupakan suatu keharusan. Dalam
kaitannya dengan musik tradisional Melayu Riau, pada akhirnya justru akan
memperkaya khasanah dari muatan lokal Melayu Riau itu sendiri, dan sekaligus
menjadi posisi tawar pada ruang lingkup yang lebih luas lagi, yaitu musik
dunia. Semoga…
[1]
Sebetulnya persoalan penciptaan karya musik ini memerlukan
penjelasan yang lebih ungkai lagi, namun dikhawatirkan justru menjadi
kontraproduktif dengan judul di atas. Selain dari itu, menurut penulis, baik
musik abstrak maupun musik programa, kedua-duanya memerlukan teknik komposisi
di dalam proses penciptaannya.
[2]
Membuat musik dengan cara menggunakan notasi (musik tertulis), hanyalah salah
satu cara saja, tentu dengan cara lain juga dapat dilakukan.
[3]
Pengecualian pada instrumen yang dapat mengeluarkan dua garis melodi sekaligus,
misalnya piano, gitar dan lain sebagainya.
[4] Secara
teknis aspek harmoni tidak akan dibahas dalam tulisan ini, karena diperlunya
ruang yang cukup untuk membahas detail persoalannya.
[5]
Untuk penjelasan lebih detail dari persoalan tempo dan dinamika ini, dapat
dilihat pada banyak buku teori musik ataupun kamus musik yang beredar di
Indonesia. Misalnya pada buku The Concise
Dictionary of Music oleh Michael Kennedy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar