oleh: armand rambah




music is a science and an art

Kamis, 28 Mei 2015

MUSIK TRADISIONAL MELAYU RIAU MENUJU ERA GLOBALISASI


Oleh: Armand Rambah
 
Introduction
Judul tulisan di atas, merupakan jabaran dari tema yang telah ditetapkan oleh pihak panitia penyelenggara dalam kegiatan kali ini. Tentu ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu pengertian dari hal di atas, yaitu apa yang dimaksud dengan “musik tradisional” dan apa pula yang dimaksud dengan “era globalisasi” sebagai kata kuncinya. Hal ini dimaksudkan agar pemahaman selanjutnya lebih terarah dan memiliki persepsi yang sama tentang persoalan tersebut.
Musik tradisional secara sederhana dapat dipahami adalah musik-musik yang hidup dan berkembang pada suatu komunitas masyarakat dan lazimnya diwarisi secara turun-temurun. Musik tradisional biasanya juga merupakan aspek pendukung dari suatu sistem kebudayaan yang terkadang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Baik itu yang bersifat sakral, misalnya ritual pengobatan, maupun hanya untuk hiburan saja. Dengan demikian, musik tradisional menjadi sangat penting bagi keberadaan dan keberlangsungan suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang pada suatu komunitas masyarakat.
Untuk selanjutnya adalah apa yang dimaksud dengan “era globalisasi”. Terminologi dari kata era, dapat dimaknai dengan masa, zaman, waktu yang terjadi dalam kurun tertentu. Sedangkan globalisasi, dapat dimaknai suatu proses yang akan menunju ke dalam ruang lingkup yang lebih luas. Dengan demikian, era globalisasi dapat dipahami yaitu suatu masa yang berada dalam ruang lingkup dunia. Bila dikaitkan dengan judul tulisan di atas, maka dapatlah dipahami bahwa musik tradisional akan menuju atau berada pada kondisi ruang lingkup yang lebih luas, yaitu dunia.
Situasi dan kondisi era globalisasi juga sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi informasi, yang berdampak terjadinya fenomena yang sama, serentak dan seketika. Apa yang terjadi di belahan dunia lain, di saat yang sama, serentak dan seketika itu juga kita dapat menyaksikannya. Konser musik di Vienna, Berlin, Paris, di saat yang sama akan dapat disaksikan oleh berjuta pasang mata dan telinga walaupun mereka tidak sedang berada di tempat yang sama. Fenomena ini justru menembus sekat-sekat ruang pribadi yang tidak terbantahkan lagi realitasnya. Artinya jarak dan waktu, sudah tidak menjadi kendala lagi untuk kita mendapatkan akses informasi tentang berbagai hal.

First Theme
Bila ditilik lagi tentang musik tradisional dalam konteksnya dengan era globalisasi, maka setidaknya ada dua pertanyaan dasar yang mesti dinyatakan. Namun perlu dijelaskan dalam tulisan ini, bahwa musik tradisional yang dimaksud adalah musik tradisional Melayu Riau, agar tidak menjeneralisir seluruh musik tradisional yang ada di berbagai daerah lainnya. Adapun pertanyaan tersebut yaitu: 1) Apakah musik tradisional Melayu Riau mampu berada pada ruang musik dunia yang notebene sangat kompetitif dengan berbagai bentuk kreatifitas, pengaruh dan perkembangannya?; 2) Dalam wujud seperti apakah musik tradisional Melayu Riau agar dapat bersaing maupun bersanding dengan musik-musik dari belahan dunia lainnya?
Dari dua pertanyaan di atas dan dikaitkan dengan judul tulisan di atas, dapat ditarik benang merah dan substansinya yaitu bahwa musik tradisional Melayu Riau dituntut memiliki posisi tawar (bargaining position). Pertanyaan selanjutnya, posisi tawar seperti apakah yang dimaksud? Untuk hal ini adalah, posisi tawar dari musik tradisional Melayu Riau dalam bentuk ataupun wujud yang kreatif, inovatif dan kekinian, baik dari aspek teks maupun konteks musikalnya.
Aspek teks musikal yang dimaksud adalah menyangkut tentang unsur-unsur pembentuk musik, misalnya melodi, ritme, harmoni, timbre dan lain sebagainya. Sedangkan aspek konteks musikal, yaitu menyangkut tentang konsep penciptaan dari suatu karya musik. Dalam hal ini, secara sederhana orientasi dari penciptaan musik dapat diarahkan dalam dua bentuk, yaitu musik abstrak (ide penciptaannya murni berasal dari dalam musik itu sendiri dengan menggunakan berbagai teknik komposisi) dan musik programa (ide penciptaannya berasal dari luar musik, biasanya dari berbagai fenomena alam).[1]

Interlude
Sebelum membahas lebih lanjut, hal penting lainnya yang perlu dipahami, yaitu bagaimana mengkolaborasikan musik Barat dan musik Timur, dalam hal ini musik tradisional Melayu Riau, baik hardware maupun software nya. Menciptakan musik dengan menggunakan teori dan instrumen musik Barat, bukan berarti menjadi kebarat-baratan. Demikian sebaliknya, menciptakan musik dengan menggunakan instrumen musik tradisional apakah lalu dapat dikatakan “membumi”? Tentu diperlukan telaah dan diskusi yang panjang-lebar untuk menjawabnya, dan itupun sifatnya sangat subyektif. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada pada musik lokal kita dengan menggunakan teori-teori musik yang sudah mapan tentunya. Sikap a priori yang terlalu berlebihan terhadap budaya yang datangnya dari Barat, justru akan menciptakan garis pembatas bagi kita di dalam mengembang potensi-potensi budaya yang ada.
Tentu kita tidak mau bilamana kekayaan musik lokal kita hanya dimanfaatkan oleh orang luar dalam karya komposisi musik mereka. Sebagaimana hal ini telah dilakukan oleh Colin McPhee yang mengangkat idiom musik Bali pada karyanya, yang terdiri dari tiga bagian tersebut, yaitu Ostinatos, Nocturne dan Finale. Pada karya tersebut terdengar jelas bagaimana idiom-idiom Bali justru, menurut penulis, menjadi terjulang dan megah. Walaupun realitasnya di dalam karya tersebut banyak menggunakan teknik dan instrumen musik Barat. Jadi sekali lagi ditegaskan, dalam konteks yang sama, pengkolaborasian musik Barat dan musik tradisional Melayu Riau adalah suatu keniscayaan dalam menghadapi era globalisasi yang semakin kompetitif dan terbuka ini.

Second Theme
Mencermati pertanyaan pertama sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, tentu jawabannya dapat dipastikan pada kenyataannya musik trasional Melayu Riau telah ada dan berada pada wilayah yang disebut era globalisasi itu. Hal ini dapat dilihat dari berbagai festival musik, baik yang diadakan di dalam maupun luar negeri, yang mengikutsertakan musik tradisional Melayu Riau di dalamnya. Sebut saja misalnya helat musik Hitam Putih, Malacca Strait Jazz Festival, Satu Bumi Beribu Bunyi, Festival Gendang, dan sederat kegiatan lainnya di mana indigenous Melayu Riau ini juga ditampilkan di berbagai negara yang ada di Eropa sana. Tentulah tidak dapat disebutkan satu persatu dari kegiatan tersebut. Intinya, sadar atau tidak disadari, sesungguhnya musik tradisional Melayu Riau telah nyata ada dan berada di tengah-tengah musik dunia (era globalisasi).
Persoalan selanjutnya adalah pertanyaan kedua, yaitu apakah musik tradisional Melayu Riau mampu bersaing ataupun bersanding dengan musik-musik dari belahan dunia lainnya. Untuk menjawab pertanyaan ini, parameter ukurnya sangat sulit dijabarkan, mengingat penilaian terhadap suatu karya seni sangat bersifat subyektif tergantung dari siapa dan dari sudut pandang mana suatu karya seni itu dilihat. Namun dalam konteks ini, akan lebih bijak bilamana persoalan tersebut dipotret dari wujud kreatifitas pada karya musik yang dihasilkan. Maksudnya adalah dalam bentuk gramatika dan estetika dari suatu karya musik yang dihasilkan.
Dalam hubungannya dengan kreatifitas penciptaan, satu persoalan kita hari ini yang terkadang masih mengganjal adalah tentang etika (pantang larang), yang masih terjadi di berbagai daerah di Riau ini. Walaupun menurut penulis, hal ini terkadang terkesan mitos yang tidak jelas asal-usulnya. Sebagai contoh, masih adanya pernyataan bahwasanya musik tradisional ini tidak boleh ditambah apalagi dirubah, karena akan merusak bentuk aslinya. Tentu hal ini dapat dipahami bilamana musik tersebut difungsikan dalam konteks peristiwa yang dapat dianggap sakral. Misalnya musik yang terintegrasi dengan berbagai ritual seperti pengobatan dan lain sebagainya. Namun bila musik tersebut hanya difungsikan sebagai hiburan saja, menurut penulis hal ini terlalu berlebihan dan justru akan menghambat suatu kreatifitas yang diinginkan. Demi untuk mempertimbangkan pernyataan yang realitasnya masih ada ini, maka sebaiknya kreatifitas dilakukan pada musik tradisional yang difungsikan dalam konteks yang tidak sakral saja. Agar tidak disebut kualat.  
Eksplorasi terhadap berbagai unsur musikal, adalah salah satu bentuk kreatifitas yang dapat dilakukan dalam rangka penciptaan suatu karya musik. Sebut saja misalnya elaborasi terhadap aspek melodi, ritme, harmoni, timbre (warna bunyi), bentuk, tempo dan dinamika. Menurut pengamatan penulis, banyak komposer yang ada di Riau, khususnya di Pekanbaru, masih belum maksimal menggali berbagai potensi yang ada di dalam unsur-unsur musik sebagaimana tersebut di atas. Seluruh aspek musik tersebut, dapat dieksplor agar mendapatkan gramatika dan estetika yang maksimal dari suatu karya musik.
Meskipun untuk menguraikan secara detail dari setiap aspek musikal tersebut, akan memerlukan ruang yang lebih panjang lagi. Namun secara singkat akan dijelaskan dengan harapan agar di dalam mengelaborasi setiap aspek musikal tersebut mendapatkan sedikit stimulasi.
1.      Aspek Melodi
Banyak pendapat para komposer yang menyatakan bahwasanya melodi adalah jiwa dari pada musik. Hal ini dapat dibuktikan tanpa melodi, musik tersebut susah dikenali dan tidak memiliki tema atau substansi yang dapat dirasakan oleh para pendengarnya sebagai suatu kesan. Perlu dipahami, musik adalah peristiwa bunyi yang dilakukan oleh tingkat kesadaran dan daya kreasi manusia yang telah mengalami modifikasi, dan melodi ada di dalamnya. Di samping itu, bilamana melodi diciptakan terlebih dahulu, maka akan memudahkan regulasi pada aspek musikal lainnya.
Sebagaimana kita ketahui, melodi adalah unsur musik yang terjadi secara horizontal, di mana di dalamnya terkandung elemen pembentuk, yaitu desain ritme dan pola nada. Pada hal inilah kreatifitas dapat dilakukan dengan cara memodifikasi dua elemen tersebut. Cara untuk mendesain ritme, tentu dengan menggabungkan (utak-atik) beberapa nilai not yang ada, mulai dari nilai not terbesar sampai dengan nilai not terkecil. Perhatikan notasi berikut.[2]

Notasi 1: Desain ritme yang menggabungkan beberapa nilai not.

Desain ritme di atas, masih dapat dimodifikasi lagi dengan berbagai cara di antaranya dengan merubah nilai not, menambahkan tanda diam di awal, di tengah ataupun di akhirnya.
Untuk selanjutnya, dari desain ritme di atas, maka akan dapat dibentuk suatu motif melodi dengan memasukkannya pada garis paranada untuk mendapatkan pola nadanya. Pada contoh berikut, dalam rangka mendapat pola nada tersebut, hanya akan digunakan lima nada saja yang ada di dalam tangganada E phrygian major, yaitu nada E-F-Gis-A-B. Di mana kelima nada ini, menurut penulis, dapat memunculkan nuansa kemelayuan dan lazim dipakai di banyak lagu Melayu yang bertangganada minor. Perhatikan notasi berikut.

Notasi 2: Motif melodi dengan pola nada E-F-Gis-A-B.

Motif melodi di atas dapat dikembangkan lagi dengan berbagai teknik yang ada, misalnya teknik repetisi, sekuens, augmentasi, diminuisi, inversi, retrograde, dan lain sebagainya. Selain dari itu, pengaturan gerak melodi juga perlu dilakukan secara proporsional, dalam pengertian seimbang antara gerak melangkah (step) dan gerak melompat (leap). Gerak melompat yang terlalu sering, akan menghasilkan kontur melodi yang kurang baik. Lazimnya, setelah gerak melompat sebaiknya dilakukan gerak melangkah.
2.      Aspek Ritme
Sebagaimana aspek melodi, aspek ritme juga memiliki elemen pembentuknya, yaitu waktu (background) dan bunyi (foreground). Aspek ritme, sangat gayut sekali dengan aspek melodi, yang mana ianya juga menjadi elemen pembentuk dari melodi itu sendiri. Namun yang perlu dicermati pada aspek ritme ini adalah bagaimana mendesain elemen waktu atau durasi yang menjadi substansi dari aspek ritme ini. Hal ini pernah dikatakan oleh Olivier Messiaen bahwasanya akar musik yang sebenarnya adalah ritme, karena ritme secara langsung berhubungan dengan dimensi waktu. Di dalam musik, waktu tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk bunyi maupun diam. Artinya, pengaturan antara bunyi dan diam tersebut haruslah menjadi pertimbangan penting di dalam mendesain ritme yang proporsional. Ini semua memerlukan dokumentasi estetik (rasa) serta perlakuan yang kontinyu (pengalaman).
Pada musik tradisioanl Melayu Riau, aspek ritme sangatlah beragam yang dapat dijadikan subject matter dari ide penciptaan karya komposisi baru yang berangkat dari idiom lokal tersebut. Pola ritme yang sudah lazim digunakan pada musik Melayu misalnya langgam, zapin, inang, dan joget, dapat dielaborasi lagi dalam bentuk kekinian dengan mendesain pola ritmenya menjadi bentuk lain. Tentu dengan tidak meninggalkan rasa dari setiap pola ritme itu sendiri. Pengolahan pola ritme yang kreatif akan memunculkan bentuk baru dari pola ritme yang selama ini digunakan pada musik tradisional Melayu Riau.
3.      Aspek Harmoni
Hal lain yang dapat dilakukan dalam konteks kreatifitas terhadap musik tradisional Melayu Riau ini, adalah dari aspek harmoninya. Menurut beberapa penelitian, bahwasanya musik tradisional yang ada di wilayah Timur, termasuk Indonesia dan Riau tentunya, tidak terdapat atau setidaknya kurang mengembangkan aspek harmoni ini. Bila dicermati, memang musik-musik yang ada di wilayah Timur justru lebih didominasi pengembangan dari aspek melodi dan pola ritmenya. Ini dapat dilihat pada karya-karya musik yang berasal dari Timur Tengah.
Hal yang sama juga terdapat pada musik tradisional Melayu Riau, misalnya musik zapin. Dilihat dari instrumen yang digunakan pada musik ini, yaitu gambus dan marwas, memang dapat dirasakan bahwasanya aspek harmoni tidak akan terbentuk, bila hanya dengan satu instrumen melodis (gambus) dan beberapa perkusi (marwas) saja. Lazimnya, harmoni dalam bentuk akor, akan wujud bilamana dua nada atau lebih dibunyikan secara bersamaan. Itu artinya, diperlukan minimal dua instrumen yang dapat menghasilkan dua garis melodi.[3]
Dalam perihal tersebut di ataslah aspek harmoni itu dapat dimuatkan dan dikembangkan pada karya-karya musik tradisional Melayu Riau, dengan menggunakan progresi akor diatonis, non-diatonis, konsonan maupun disonan.[4] Sebagaimana hal ini juga sudah dilakukan pada banyak genre musik yang ada di dunia ini.  Pada akhirnya, harmoni akan membentuk sekaligus memperkaya ruang (space) daripada musik tradisional Melayu Riau tersebut.
4.      Aspek Timbre (warna bunyi) 
Persoalan timbre tidak hanya sebatas persoalan warna bunyi yang dihasilkan. Lebih daripada itu, timbre merupakan unsur musik yang mutlak adanya pada suatu karya musik. Analoginya adalah, timbre merupakan manifestasi daripada ragam bunyi, sedangkan bunyi itu sendiri dihasilkan oleh media bunyi, baik vokal maupun instrumen musik. Ini artinya, secara tidak langsung timbre dihasilkan oleh media bunyi tersebut. Mengingat material dari musik itu adalah bunyi yang dihasilkan oleh media bunyi, menurut penulis, maka tanpa adanya timbre sesungguhnya karya musik itu tidak ada. Agaknya alasan inilah yang membuat Aaron Copland, komposer Amerika, memasukkan timbre menjadi unsur dasar pembentuk suatu karya musik.
Dalam hubungannya dengan kreatifitas penciptaan musik tradisional Melayu Riau, maka perihal timbre perlu dipertimbangkan dari dua hal, yaitu apa yang disebut dengan kualitas timbre dan kuantitas timbre. Kualitas timbre adalah warna bunyi yang dihasilkan oleh media bunyi yang sama, namun dengan pemain yang berbeda. Misalnya melodi yang sama, dimainkan pada register yang sama dengan dua instrumen yang sama pula, namun oleh pemain yang berbeda, akan menghasilkan timbre yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh teknik memainkannya (skill pemain) dan kualitas dari sumber bunyinya. Sedangkan kuantitas timbre adalah warna bunyi yang dihasilkan oleh media bunyi yang berbeda. Misalnya melodi yang sama, dimainkan pada register yang sama, namun dengan instrumen yang beragam, dapat dipastikan timbre yang dihasilkan berbeda.
Dengan adanya pemahaman tentang hal ini, maka warna bunyi dari musik tradisional Melayu Riau dapat ditata dengan berbagai instrumen musik yang ada.  Pengkolaborasian dari berbagai alat musik, baik instrumen musik lokal maupun dari luar yang telah dilakukan, adalah suatu perlakuan yang bijak. Tentulah dengan perlakuan yang profesional dan proporsional.
5.      Aspek Bentuk
Bilamana membicarakan aspek bentuk, maka secara implisit di dalamnya termaktub persoalan struktur dan desain. Pembahasan struktur dan desain di dalam musik, sangat komplit dan rumit, karena mau tidak mau akan bersinggungan dengan perlakuan analisis dari teks musikal. Namun dalam kesempatan kali ini, aspek bentuk musik akan dijelaskan dalam perspektif tekstur musik saja.
Setidaknya secara umum ada tiga tekstur musik yang dapat dijelaskan dalam konteks penciptaan komposisi musik, yaitu monophonic, homophonic, dan polyphonic. Monophonic adalah karya musik yang terdiri dari satu suara saja tanpa ada pengiring. Selanjutnya, homophonic adalah karya musik yang terdiri dari beberapa suara, namun hanya satu suara yang mendominasi sementara suara yang lainnya hanya difungsikan sebagai pengiring saja. Sedangkan polyphonic, adalah karya musik yang terdiri dari beberapa suara yang masing-masing suara tersebut sama-sama aktifnya. Pada musik polyphonic, pengetahuan tentang teknik kontrapung (counterpoint), sangat dibutuhkan di dalam perwujudannya.
Kaitannya dengan proses kreatif untuk musik tradisional Melayu Riau, dapat memilih salah satu di antara tiga tekstur sebagaimana tersebut di atas. Menurut pengamatan penulis, pada musik tradisional Melayu Riau sangat banyak menggunakan tekstur dalam bentuk monophonic dan homophonic, sedangkan dalam bentuk polyphonic sangat jarang dijumpai. Barulah beberapa tahun terakhir muncul karya-karya musik baru yang mengangkat idiom musik Melayu Riau dalam bentuk polyphonic. Hal ini dapat dilihat pada beberapa karya musik yang telah diciptakan oleh mahasiswa Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR). Intinya, bentuk musik dalam tekstur polyphonic perlu dipertimbangkan dan dilanjutkan untuk proses penciptaan karya-karya musik baru yang berangkat dari idiom musik tradisional Melayu Riau.
6.      Aspek Tempo dan Dinamika
Di dalam komposisi musik, diperlukan suasana kontras antara satu bagian dengan bagian lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan permainan tempo dan dinimika. Akan sangat monoton bilamana suatu karya musik hanya memakai satu macam tempo dan dinamika saja. Sensorik auditif manusia pasti dapat membedakan mana tempo yang lambat ataupun cepat. Demikian juga halnya dengan dinamika, mana dinamika yang lembut ataupun keras.
Pada teori musik Barat, persoalan tempo dan dinamika ini sangat diakomodir dengan banyaknya pilihan yang ada. Perihal tempo misalnya, mulai dari grave, largo, adagio, lento, andante, andantino, moderato, allegretto, allegro, vivace, presto sampai prestissimo. Sedangkan untuk dinamika, mulai dari ppp, pp, p, mp, mf, f, ff, sampai fff. Selain dari itu, untuk perubahan dinamika yang sifatnya khusus ditandai dengan perintah crescendo, decrescendo atau diminuendo, dan sforzando.[5]  
Kaitannya dengan proses kreatif penciptaan musik, gramatika musik Barat ini dapat dipakai agar aspek tempo dan dinamika yang ada pada musik tradisional Melayu Riau lebih terelaborasi lagi. Sehingga nantinya, karya-karya baru yang berpaksi pada indigenous Melayu Riau ini menjadi lebih variatif dan kreatif.

Coda
Simpulan dari beberapa hal yang telah dijelaskan di atas, adalah diperlukan kreatifitas di dalam mengolah berbagai aspek musikal, agar dapat memunculkan menu lain dari komposisi musik dalam bentuk baru tanpa harus mengganggu kekayaan lokal yang sudah ada. Satu sisi mempertahankan kearifan lokal adalah suatu keniscayaan, namun di sisi yang lain, mengembangkan kearifan lokal tersebut juga merupakan suatu keharusan. Dalam kaitannya dengan musik tradisional Melayu Riau, pada akhirnya justru akan memperkaya khasanah dari muatan lokal Melayu Riau itu sendiri, dan sekaligus menjadi posisi tawar pada ruang lingkup yang lebih luas lagi, yaitu musik dunia. Semoga…


[1] Sebetulnya persoalan penciptaan karya musik ini memerlukan penjelasan yang lebih ungkai lagi, namun dikhawatirkan justru menjadi kontraproduktif dengan judul di atas. Selain dari itu, menurut penulis, baik musik abstrak maupun musik programa, kedua-duanya memerlukan teknik komposisi di dalam proses penciptaannya.
[2] Membuat musik dengan cara menggunakan notasi (musik tertulis), hanyalah salah satu cara saja, tentu dengan cara lain juga dapat dilakukan.
[3] Pengecualian pada instrumen yang dapat mengeluarkan dua garis melodi sekaligus, misalnya piano, gitar dan lain sebagainya.
[4] Secara teknis aspek harmoni tidak akan dibahas dalam tulisan ini, karena diperlunya ruang yang cukup untuk membahas detail persoalannya.
[5] Untuk penjelasan lebih detail dari persoalan tempo dan dinamika ini, dapat dilihat pada banyak buku teori musik ataupun kamus musik yang beredar di Indonesia. Misalnya pada buku The Concise Dictionary of Music oleh Michael Kennedy.

Jumat, 15 Mei 2015

PEMBINAAN MUSIK PROPINSI RIAU


Oleh: Armand Rambah

Judul kegiatan yang dibuat oleh pihak panitia di atas, sekaligus menandai bentuk kegiatan yang juga dapat menimbulkan berbagai pertanyaan. Misalnya, apakah yang dimaksud dengan musik Propinsi Riau itu? Adakah musik Propinsi Riau itu? Lalu, bagaimanakah bentuk musik Propinsi Riau itu? Tentu beberapa pertanyaan lainnya dapat disebutkan dalam konteks yang sama.
Namun dalam hal ini, dapatlah dipahami agaknya maksud dari judul kegiatan yang dibuat oleh pihak penyelenggara adalah musik yang ada di berbagai daerah yang ada di Propinsi Riau ini. Sebut saja misalnya musik zapin, gondang burogong dan lain sebagainya. Agar tidak memunculkan berbagai pertanyaan, sebaiknya judul di atas dipahami menjadi “Pembinaan Musik-Musik Daerah di Propinsi Riau”.   
Sudah kali ke sekian pembinaan musik dilakukan di Propinsi Riau ini dengan judul ataupun tema yang berbeda, namun substansinya sama. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini, diselenggarakan pada tanggal 11 sampai dengan 13 Mei 2015 di salah satu hotel berbintang yang ada di kota Pekanbaru. Pada intinya, kegiatan ini dapatlah dikatakan semacam bengkel (workshop) seni musik yang telah berkali-kali juga sudah dilakukan oleh berbagai dinas terkait.
Untuk kegiatan ini pihak penyelenggara menghadirkan lima orang pemateri di mana dua orang dari Institut Kesenian Jakarta, satu orang dari Institut Seni Indonesia Padangpanjang dan dua orang lagi merupakan pemateri tempatan. Di mana penulis salah satu dari dua orang pemateri tempatan tersebut yang mewakili institusi Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR).
Selain pemateri, panitia juga mendatangkan peserta dari berbagai daerah yang ada di Propinsi Riau ini, akan tetapi tidak semua kabupaten/kota yang ada di Pripinsi Riau ini diikut sertakan dalam kegiatan kali ini. Barangkali disebabkan oleh persoalan pendanaan yang tidak cukup untuk mengakomodir seluruh kabupataen/kota yang ada. Hanya tujuh delegasi saja yang dihadirkan, di antaranya Kabupaten Siak, Bengkalis, Kepulauan Meranti, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Kuantan Singingi dan Kota Pekanbaru. Kecuali utusan Pekanbaru yang jumlahnya 20 orang, yang merupakan mahasiswa program studi musik dari Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) yang sengaja diundang oleh pihak panitia, maka peserta dari kabupaten sebagaimana yang telah disebutkan hanya diminta sebanyak lima orang saja.
Hari pertama kegiatan ini, tepatnya pada malam hari, para pemateri melakukan pembekalan sekaligus menentukan arah dari orientasi karya yang akan dibuat nantinya. Walaupun bila dilihat dari peserta yang ikut, rata-rata semuanya sudah memiliki pengetahuan dan bahkan sudah melakukan bagaimana menciptakan suatu komposisi musik. Baik itu secara akademik maupun otodidak.
Namun satu hal yang pasti, para peserta sudah dapat dikatakan mahir di dalam memainkan instrumen yang menjadi pegangannya. Inilah yang sangat membantu dari proses pengkaryaan yang dilakukan oleh para peserta workshop musik tersebut. Tentu saja kekurangan di sana-sini masih terlihat, hal ini dikarenakan berbagai hal yang terkadang luput dari perencanaan. Di samping kekurangan yang ada, tentulah manfaat juga didapat oleh para peserta yaitu dalam hal konsepsi-konsepsi lain dalam dunia penciptaan karya musik dari berbagai pemateri. Walaupun ada wacana yang baru, namun masih ada juga wacana yang barangkali bisa dikatakan sudah usang yang dipaparkan oleh para pemateri tersebut.
Mengingat waktu pelaksanaan yang begitu singkat, tentu tidaklah bijak bilamana kita berharap terlalu berlebih dari capaian kegiatan ini. Malam pertama, baru pada hal perencanaan, dilanjutkan hari kedua sampai dengan malamnya proses penggarapan dan pada hari ketiga paginya kegiatan ini ditutup. Jadi bila dikalkulasikan jamnya, maka tidak lebih dari dua belas jam saja para peserta melakukan proses penggarapan karya musik, yang harus mereka tampilkan pada saat acara penutupan kegiatan.
Walaupun waktu sesingkat itu, namun karya yang ditampilkan oleh para peserta tidaklah terlalu mengecewakan. Hal ini dikarenakan para peserta tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, adalah merupakan orang-orang (seniman musik) pilihan dari setiap daerah yang diundang. Tinggal saja pengembangan dari beberapa aspek musikal masih kurang tereksplor sebagaimana mestinya. Misalkan aspek melodi, ritme dan harmoninya. Tentu waktu menjadi penyebab utama dari persoalan ini.
Munculnya komposer-komposer baru dari dunia musik yang ada di tanah Melayu ini, adalah harapan dari diselenggarakannya kegiatan ini. Namun perlu dicermati dan diperhatikan lagi bagi dinas terkait sebagai pihak penyelenggara, mestilah secara konsep dan pelaksanaan lebih tertata lagi. Misalnya saja perlu ada tujuan yang mencerdaskan dan jangan terkesan hanya sekedar menghabiskan dana yang notabene adalah uang rakyat. Sebagaimana hal ini disampaikan oleh salah seorang Kepala Bidang di dalam pidato penutupannya. Hal lain juga yang perlu mendapatkan perhatian adalah perlunya keberlangsungan dari kegiatan ini, agar substansinya tidak hanya sekedar menjalankan rutinitas semata. Akan tetapi sebagai dinas terkait yang berkewajiban untuk melestarikan dan meyebarluaskan seni budaya menjadi bertanggungjawab sesuai dengan tupoksinya. Dengan demikian, evolusi dari seni budaya Melayu Riau ini, senantiasa bermetamerfosis mengikuti zamannya (up to date).