oleh: armand rambah




music is a science and an art

Rabu, 25 November 2015

INDONESIA YOUNG MUSICIAN PERFORMANCE 2015



Oleh: Armand Rambah

Dzikrasyah, pianis umur 10 thn dari Pekanbaru yang ikut dalam IYMP 2015

Indonesia Young Musician Performance (IYMP) adalah suatu kegiatan pertunjukan musik yang khusus dilaksanakan bagi para seniman musik muda. Kegiatan ini berskala nasional yang dibagi ke dalam empat belas wilayah penyelenggaraannya untuk seluruh Indonesia. Berbeda dengan acara pertunjukan musik lainnya yang selalu dilombakan, IYMP ini sengaja memilih untuk tidak dilombakan dengan maksud agar anak-anak tidak terbebani secara psikologis untuk menjadi pemenang ataupun takut untuk kalah. Bila dilihat dari dominasi peserta yang ikut adalah rata-rata anak-anak yang masih berusia 5 sampai dengan 15 tahun, hanya beberapa orang saja yang berumur lebih, belum lagi bila dikaitkan dengan persoalan hasil penjurian yang masih bersifat subyektif dan dibentengi dengan kata-kata sakti yaitu, “Keputusan dewan juri tidak dapat diganggu gugat” maka pertimbangan ke arah itu (tidak dilombakan), adalah wajar saja dilakukan. Dengan konsep seperti ini semua penampil adalah pemenang, paling tidak dengan diri dia sendiri. Begitulah konsep pelaksanaan IYMP yang diselenggarakan setiap dua tahun sekali dan kali ini adalah kali keempat.

Sebagai pihak penyelenggara dari kenduri musik ini, adalah majalah Staccato yang berkedudukan di Surabaya di mana Eddy F Sutanto adalah sebagai nakhodanya. Majalah staccato merupakan media cetak yang mengkhususkan diri pada bidang musik yang di dalamnya memuat berbagai hal. Namun secara garis besar dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu berita tentang pertunjukan dan edukasi musik. Keberadaan dari majalah staccato itu sendiri sudah lebih dari sepuluh tahun lamanya di tengah sidang pembaca yang ada di Indonesia. Bahkan untuk saat ini khabarnya sudah pula hadir di beberapa negara tetangga lainnya. Untuk itu semua, tentu ucapan terimakasih atas konsistensi dan komitmen dari pihak penyelenggara, dalam ini majalah staccato, atas terselenggaranya kegiatan IYMP ini. Walaupun kekurangan di sana-sini masih banyak yang perlu diperbaiki agar ke depannya lebih sempurna lagi di dalam pelaksanaannya.

Tepatnya hari Minggu tanggal 15 November 2015, acara ini diselenggarakan di salah-satu hotel berbintang yang ada di Kota Pekanbaru yaitu Hotel Pangeran. Dipilihnya Riau sebagai salah-satu tempat penyelenggara dari empat belas tempat yang telah ditetapkan sebelumnya, tentu dengan berbagai pertimbangan akan kelayakannya. Di antara pertimbangan tersebut, menurut penulis, adalah semakin representatifnya perkembangan dunia pendidikan musik baik secara kuantitas maupun kualitas di Propinsi Riau tersebut. Hal ini dapat dilihat dari menjamurnya tempat-tempat kursus musik yang ada di kabupaten/kota yang ada di Propinsi Riau ini. Dengan demikian, situasi ini berdampak terhadap jumlah peserta yang ikut dalam kegiatan IYMP ini melebihi dari seratus orang banyaknya.

Tersedianya ruang-ruang yang dapat menstimulasi para musisi muda di dalam mengaktualisasikan diri mereka terhadap dunia musik adalah suatu keharusan. IYMP merupakan salah-satu wadah dan sekaligus jawaban yang dapat mengakomodir para musisi muda untuk menunjukkan kebolehan mereka di dalam dunia musik. Tentu banyak lagi wadah lain yang juga sudah dilakukan oleh pihak-pihak lain yang berkaitan dengan dunia musik ini. Intinya adalah dengan adanya wadah tersebut, akan lebih menggairahkan dunia musik apa lagi bagi generasi muda yang notabene sebagai pelanjut dari eksistensi kuantitas dan kualitas musik itu sendiri. Apa lagi bila dikaitkan dengan musik yang merupakan salah satu elemen budaya yang tidak dapat dipisahkan keberadaannya dari perjalanan kehidupan manusia.

Sebagai akhir dari tulisan ini, ada beberapa hal yang perlu disarankan bila diamati dari pelaksanaan IYMP 2015 ini. Di antaranya adalah: 1) Peserta yang ikut sebaiknya diseleksi terlebih dahulu, mengingat musik adalah seni pertunjukan yang harus memberikan sajian terbaik kepada penontonnya; 2) Kategori peserta yang tampil sebaiknya dikelompokkan, baik dari segi umur maupun tingkatan; 3) Perlu disediakan ruang dan waktu bagi peserta untuk proses adaptasi panggung; 4) Mengingat banyaknya anak-anak yang berkeliaran di saat pertunjukan berlangsung, maka sebaiknya panitia mengatur akan hal tersebut.

Selasa, 22 September 2015

FESTIVAL NASIONAL MUSIK TRADISI REMAJA (FNMTR) 2015



Pemerintah Provinsi Riau lewat Dinas Pendidikan dan Kebudayaannya mendelegasikan Sanggar Pandan Wangi yang merupakan binaan dari SD 36 yang berada di kota Pekanbaru. Pendelegasian ini dilakukan dengan menunjuk secara langsung sanggar tersebut, walaupun sebaiknya mestilah dilakukan seleksi terlebih dahulu. Namun hal ini tidak dapat dilakukan dengan berbagai alasan yang acap kali terjadi pada persoalan ini, yaitu persoalan pendanaan yang tidak teralokasikan sebelumnya. Sesungguhnya kegiatan ini sudah dilakukan beberapa tahun sebelumnya dengan bentuk yang sama, dan pemerintah Riau tahu akan hal itu. Intinya, pemerintah Provinsi Riau tidak satu rupiah pun dapat memberikan dana bantuan bagi kontingen ini yang nota bene menjadi duta Riau dalam festival ini. Untung sajalah pihak panitia, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pusat memberikan dana produksi sebanyak Rp.15.000.000 dengan potong pajak. Begitulah realitas yang ada.
Anis Baswedan selaku menteri Pendidikan dan Kebudayaan secara resmi membuka helat tersebut pada tanggal 6 Agustus 2015. Dalam kesempatan tersebut, beliau sangat jelas mengatakan bahwasanya generasi muda Indonesia sejatinya sangat memerlukan satu hal yang ada di dalam kehidupan ini yaitu olah rasa. Hal ini tentu dapat kita sandingkan sebagaimana yang terjadi pada bidang lainnya yaitu olah raga. Manusia tidak hanya butuh sehat jasmani saja, namun di sisi lain juga memerlukan sehat rohani di mana hal ini bisa didapat melalui olah rasa dengan media belajar seni pada peserta didik. Di mana pada tingkat ini sangat representatif untuk membina serta membekali mereka dengan pendidikan seni sebagai penopang sensitivitas mereka di dalam menjalani kehidupan ini.
Pada kesempatan kali ini, pihak panitia menyelenggarakan kegiatan ini di pelataran musium Fatahillah, yang mana musium ini berada di Kota Tua yang ada di daerah Ibu Kota Jakarta. Dapat dikatakan tempat penyelenggaraan tersebut sangat representatif untuk sebuah pertunjukan musik yang sifatnya outdoor. Di mana ruang untuk penonton sangat luas dan dapat diakses dari berbagai penjuru yang ada. Di tambah lagi dengan cuaca yang sangat bersahabat di kala itu tidak musim hujan. Hanya beberapa kali sajalah hujan turun dan itupun hanya gerimis saja. Intinya, tempat dan situasi pagelaran seni musik ini dapatlah dikatakan layak bagi suatu pertunjukan musik yang secara langsung dapat disaksikan oleh banyak orang. Ditambah lagi dengan sistem suara dan pencahayaan yang memadai, namun masih terjadi persoalan yang dari dulu itu-itu saja di dalam pertunjukan musik yang dilakukan secara langsung. Persoalan mendasarnya adalah masih terjadinya ketidakjelasan dan ketidakseimbangan suara dari masing-masing instrumen yang dimainkan. Konkretnya, kualitas tata suara antara waktu sound check dan penampilan, berbeda. 
Untuk festival kali ini, setiap propinsi hanya dapat mengirim 10 orang saja peserta yang ditanggung oleh pihak panitia pusat. Adapun hal-hal yang ditanggung oleh panitia pusat di antaranya transfortasi pulang dan pergi dari daerah masing-masing, transfortasi lokal, hotel, dan konsumsi selama helat ini berlangsung. Namun bilamana kontingen lebih dari 10 orang, tentu hal ini menjadi tanggung jawab dari masing-masing daerah. Terkait dengan persoalan ini, kontingen dari Riau adalah sebanyak 10 orang pemain musik dan 4 orang pedamping. Dengan demikian biaya untuk 4 orang pedamping dibebankan kepada uang produksi yang diberikan oleh panitia pusat dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Walaupun sebelumnya Dinas Pendidikan Riau, sempat menjanjikan untuk menanggung biaya di luar dari yang sudah ditanggung oleh pihak panitia pusat. Namun sekali lagi, realitasnya tidak ada.
Bila ditengok dana penyelenggaraan kegiatan ini semulanya dari  Rp. 3.144.100.000,00 namun yang terealisasi menjadi 2.645.905.000,00 (sumber dari LPSE kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia 2015) sangatlah memadai dan pantas untuk mengakomodir peserta yang jumlahnya 10 orang kali 34 propinsi yang ada di Indonesia ini.
Mencermati konsep karya yang disajikan dalam FNMTR 2015 ini adalah konsep musik yang mengacu pada idiom-idiom lokal yang ada di setiap dearah. Misalnya Riau dengan tradisi musik Melayunya, Sumatera Utara dengan tradisi musik Melayu dan Bataknya, Sumatera Barat dengan tradisi musik Minangnya, Jawa dengan tradisi musik Jawanya dan lain sebagainya. Dari kekayaan lokal tersebut muncul ide-ide baru di dalam karya-karya musik yang disajikan dalam festival ini. Artinya, harapan ataupun tujuan yang hendak dicapai dari helat ini salah satu di antaranya adalah lahirnya karya (komposisi) dan pengkarya (komposer) musik yang baru dalam bingkai kekinian.
Bila disimak dari penampilan yang ada, tentu masih banyak yang belum mencapai target sebagaimana yang diharapkan. Namun tidak sedikit juga kelompok musik yang sudah dapat dikategorikan sudah memenuhi standar dari konsep kreativitas yang atmosfirnya dalam konteks kekinian. Tentu dalam hal ini diperlukan perlakuan yang kontinyu agar proses kreativitas di dalam penciptaan musik yang berangkat dari idiom-idiom lokal itu tidak tercerabut dan terpisah dari akar tunggang di mana kesenian itu berada, namun tetap dalam konteks kekinian agar tidak ditinggalkan oleh zamannya. Tentu hal ini memerlukan bimbingan yang berkelanjutan yang juga dapat dilakukan oleh pihak kementerian yang bersangkutan, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penting untuk diingat, bahwasanya menanamkan nilai-nilai budaya tersebut sangat representatif diberikan atau ditanamkan sedini mungkin pada peserta didik. Dan, itu berada di lingkungan sekolah. 
Akhir dari kegiatan tersebut, pihak panitia menetapkan pemenang dalam bentuk non-ranking, yang ditetapkan hanya enam besar yang masuk ke dalam kategori dianggap layak untuk sebagai pemenang. Tentulah alasan pemilihan non-ranking ini dapat dimaklumi dan tidak menjadi persoalan dengan alasan penilaian terhadap karya seni sangat susah ditentukan dari sudut pandang yang berbeda dari seni itu sendiri. Mengingat banyaknya ragam seni budaya yang terdapat di berbagai daerah yang ada di Indonesia ini. Hal penting dari kegiatan ini sesungguhnya adalah wujudnya seni dan seniman musik baru yang berkualitas yang berpaksi pada kearifan lokal yang ada. Dengan demikian posisi tawar dari seni budaya kita dapat dipertanggungjawabkan. Semoga…

Rabu, 05 Agustus 2015

Komet di Istana Siak Sri Indrapura



Komet adalah sejenis gramophone (alat pemutar musik) yang terdapat di istana Siak Sri Indrapura yang merupakan salah satu dari dua komet yang masih ada di dunia ini. Satunya lagi berada di negera Jerman yang merupakan negara asal pembuatannya.
Komet yang ada di istana Siak dibawa oleh sultan Siak ke XI yaitu Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (Sultan Syarief Hasyim) sewaktu lawatan beliau ke Jerman pada tahun 1896. Menurut informasi dari salah seorang petugas yang ada di istana Siak, komet merupa barter dari rotan, kopi dan damar.
Saat ini, piringan musik yang terbuat dari baja tersebut masih tersisa sebanyak 17 keping yang terdiri dari karya-karya komposer terkenal dunia abad XVIII yaitu Beethoven, Mozart dan Strauss. Untuk memainkan satu karya tersebut menghabiskan waktu lebih kurang 10 sampai 15 menit setiap piringannya. Namun sangat disayangkan tidak semua piringan musik tersebut bisa dimainkan lagi, hal ini dikarenakan oleh kondisi piringan musik itu sudah mengalami kerusakan. Tentu di antara penyebabnya adalah faktor usia dan perawatan yang kurang maksimal. Komet tersebut merupakan keluaran Goldenberg & Zeitlin dengan nomor patent 95132.
Berbeda dengan piringan hitam, piringan musik baja pada komet ini berdiameter lebih kurang 90 cm yang dilubangi menurut bentuk lagunya. Dengan demikian setiap piringan tersebut terdapat banyak lubang yang merupakan konversi dari notasi-notasi musik. Selain dari itu bentuknyapun tidak sama satu dengan lainnya. Untuk membunyikan piringan musik tersebut, komet ini menggunakan sistem per yang mesti diputar terlebih dahulu. Hal ini sama seperti sistem yang juga selalu digunakan pada metronom, jam dinding maupun jam tangan yang non digital.
Di sinilah kelebihan komet ini yang tingkat kesulitan pembuatannya sangat tinggi sekaligus unik. Di mana teknik konversi dari notasi ke piringan baja tersebut memerlukan teknik dan kesabaran yang tinggi. Tentu dalam konteks ini, merujuk dari nama komposer tersebut di atas, dapat dipastikan notasi yang dikonversikan adalah notasi balok.
 Namun kondisi terkini dari komet tersebut tidak dapat lagi difungsikan dalam waktu yang lama, yang biasanya 10 sampai 15 menit untuk membunyikan setiap satu piringan musik tersebut. Hanya lebih kurang 3 sampai 5 menit saja komet ini dapat difungsikan, hal ini disebabkan oleh sistem per yang ada sudah melemah seiring dengan usia yang sudah lebih kurang 118 tahun lamanya.
Mengamati hal tersebut, agaknya diperlukan perbaikan agar fungsi dari komet ini tetap maksimal mengingat komet adalah salah satu dari kekayaan dunia yang masih tersisa hingga saat ini. Dan, itu terdapat di Kabupaten Siak, Propinsi Riau Indonesia. Selain dari pada itu, diperlukan kajian yang komprehensif guna membuka tabir tentang keunikan dari komet itu sendiri agar revitalisasi dari berbagai bentuk cagar budaya dapat terwujud dan tidak hilang tergerus oleh zaman.

Senin, 15 Juni 2015

KOMPETISI PIANO DAN VIOLIN 2015




Oleh: Armand Rambah
Terakhir tahun 2011 kegiatan ini diselenggarakan, Sekolah Musik Mutiara kembali menaja helat yang sama. Sekolah Musik Mutiara adalah salah satu wadah pendidikan musik non formal di mana Fanny Soufina, yang merupakan alumni dari Akademi Kesenian Melayu Riau, sebagai pemiliknya. Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 31 Mei 2015 di salah satu hotel berbintang yang ada di Pekanbaru. Dimulai dari jam 8.00 WIB dan berakhir sampai dengan jam 22.00 WIB.
Pada kegiatan ini, pihak panitia menghadirkan dewan juri untuk kompetisi paino sebanyak tiga orang. Di mana dua orang berasal dari luar Propinsi Riau, yaitu dari Jakarta dan Surabaya. Sedangkan satu orang lagi adalah penulis sendiri yang didaulat untuk jadi juri pada kompetisi piano ini. Selain juri piano, ada juga juri untuk kompetisi violin yang terdiri dari dua orang saja. Salah seorang di antaranya didatangkan dari Padangpanjang dan seorangnya lagi dari Pekanbaru sendiri.
Bila dilihat dari jumlah peserta yang ikut dalam kompetesi ini, dapatlah dikatakan pihak panitia cukup berhasil di dalam menyelenggarakannya. Tidak kurang dari 200 orang lebih peserta yang datang dari berbagai daerah untuk mengikuti kompetisi ini, misalnya dari Tanjung Pinang, Padang, Dumai, Jambi dan dari Pekanbaru sendiri sebagai tuan rumah.
Kompetisi ini terdiri dari berbagai kategori, yaitu tingkat basic, elementary, dan advanced. Setiap kategori inipun dibagi lagi dengan menyesuaikannya pada tingkat usia peserta. Artinya, pada kompetisi ini pihak panitia telah melakukan klasifikasi peserta yang disesuaikan dengan tingkat usianya agar lomba tersebut berlangsung dengan adil (fair play).
Sisi lain yang perlu juga dicermati adalah terciptanya ruang yang dapat memberikan stimulasi akan minat anak muda untuk lebih lagi mencintai musik, khususnya musik klasik. Hal ini perlu dicermati dan dipahami sebagai menu lain dari pagelaran musik yang sudah ada, misalnya pertunjukan musik Melayu, pop, rock, jazz, dangdut, dan lain sebagainya.
Sebagaimana kita ketahui, khususnya di Pekanbaru, posisi musik klasik adalah yang paling minim peminat bila dibandingkan dengan jenis musik lainnya. Sementara secara teknik dan gramatika musik, ianya dapat dikatakan sudah mapan untuk dijadikan metode dan materi belajar musik. Jadi tidak ada salahnya bilamana genre musik ini juga tumbuh dan berkembang seiring dengan jenis musik lainnya yang telah ada.
Bila dilihat dari peserta yang ikut, tentu harapan bagi putra-putri Riau khususnya, Indonesia umumnya, di dalam mengembangkan bakatnya pada bidang musik, khususnya musik klasik yang notabene juga sudah merupakan milik dunia. Musik klasik Barat tidak dapat lagi dikatakan hanya milik bangsa-bangsa yang ada di Barat sana, namun ianya juga sudah menjadi milik semua bangsa-bangsa yang ada di dunia ini.
Bahkan beberapa negara di Asia justru memberlakukan musik Barat sama pentingnya dengan musik muatan lokal mereka. Sebut saja Negara Jepang, Pilipina, Korea, bahkan China sekalipun yang merupakan salah satu negara dengan peradaban tertuanya, juga melakukan hal yang sama. Hal ini dibuktikan banyaknya pemain musik klasik yang berasal dari negeri tirai bambu terebut. Misalnya dua pianis terkenal dunia yaitu Lang Lang,Yuja Wang dan salah seorang komposer terkenal dunia, yaitu Tan Dun yang banyak karyanya berangkat dari ide lokal China dengan medium musik Barat. Tentu hal ini adalah suatu keniscayaan juga bagi kita di dalam membangun peradaban yang lebih baik di bidang musik ke depannya. Mudah-mudahan…