oleh: armand rambah




music is a science and an art

Jumat, 30 Desember 2011

Yang Tersisa dari RaPA Festival ISI Padang Panjang

Oleh: Armand Rambah
Ranah Performing Art (RaPA) begitulah nama helat yang ditaja oleh BEM ISI Padang Panjang pada tanggal 7 sampai dengan 12 Desember 2011 yang lalu. Inilah kali pertama RaPA diselenggarakan dan juga kali ini memfokuskan kegiatannya pada pertujukan musik saja. Tidak kurang dari 16 grup musik yang datang dari berbagai daerah baik itu melalui perguruan tinggi seni maupun kelompok seni yang ada di Indonesia ini. Bahkan hadir pula beberapa penampil yang berasal dari luar negeri misalnya Malaysia, Korea, Belgia dan Irlandia. Walaupun tiga negara terakhir sebetulnya adalah mahasiswa yang sedang studi di ISI Padang Panjang. Dengan demikian, dapatlah dikatakan kegiatan ini berskala internasional yang ditaja oleh ISI Padang Panjang yang berumur lebih kurang 43 tahun ini.
Tentulah SOLFEGIO sebagai unit kegiatan mahasiswa yang ada di jurusan musik AKMR patut pula berpartisipasi dalam perhelatan musik ini guna mengaktualisasi sekaligus mengintrospeksi diri dalam konteks kualitas berkesenian musik. Malam kedua dari Helat ini, tepatnya Sabtu malam, solfegio diberi kesempatan pula untuk tampil membawakan dua komposisi musik yang subject matter nya berangkat dari indigenous Melayu Riau. Karya pertama mengangkat subject matter yang dieksplorasi dari fenomena yang ada pada pertunjukan musik randai yang ada di daerah Taluk Kuantan. Tentu dalam komposisi musik ini tidak terlihat lagi musik randai sebagaimana aslinya, namun lebih kepada wujud dari fenomena pertunjukan tersebut yang sudah ditransformasikan kedalam teks musikal. Sedangkan karya kedua, subject matter nya diambil dari tangganada phrygian mayor, di mana tangganada ini sama dengan minor harmonis yang lazim dipakai pada musik Melayu yang bertangganada minor. Memang, seniman itu di dalam berkarya selalu saja terinspirasi dengan idiom-idiom lokal di mana mereka berada, begitu kata Djakob Soemardjo.
Mengamati pelaksanaan dari kegiatan RaPA tersebut, perlu juga mendapat perhatian dari sisi manajemen seni pertunjukannya yang agaknya kurang kemas di dalam pelaksanaannya. Walaupun dapat dimaklumi untuk kali pertama soliditas suatu kepanitiaan tentu tidaklah sempurna baik itu secara konsep maupun teknis penyelenggaraan dari sebuah kegiatan pertunjukan musik. Misalnya dalam menyeleksi materi penampilan yang akan dibawakan oleh peserta festival. Tim kuratorial mestilah menentukan kriteria penampilan yang menjadi konten dari materi yang akan ditampilkan. Hal ini perlu dilakukan agar festival ini dapat diapresiasi sebagai sebuah peristiwa kebudayaan yang dapat mencerdaskan insan-insan seni itu sendiri. Apalagi bila dikaitkan dengan sebuah institusi pendidikan seni, maka sudah selayaknyalah ISI Padang Panjang ini menjadikan wadah festival ini sebagai sebuah wilayah cerdas dalam konteks berkesenian tidak hanya terkesan hiburan belaka. Walaupun aspek itu diperlukan juga dalam konteks yang lain tentunya. Intinya, ISI Padang Panjang sebagai pihak penyelenggara mestilah memikirkan hal tersebut guna capaian-capaian yang lebih baik dalam orientasi mutu dari musik itu sendiri.
Hal lain yang juga menjadi persoalan sebagaimana yang dipaparkan oleh Edward C. van Ness salah seorang pemakah dari Amerika yang sudah lama menetap di Indonesia ini adalah persoalan mediasi bunyi yang kurang berhasil adanya. Menurut beliau, ada dua sisi yang dapat memicu hal ini terjadi yaitu dari konsep materi penampilnya (barangkali yang dimaksudkan di sini adalah persoalan filosofi dari karya yang ditampilkan) dan juga dari media penyampai bunyi itu sendiri yaitu sound system. Dari materi penampilan beliau menyorot persoalan cara menyampaikan konsep yang diusung masih terkesan vulgar sehingga menyebabkan konsep musikal tidak termediasi dari karya yang ditampilkan. Misalnya protes terhadap penebangan hutan secara liar tidak perlu disampaikan dengan penggunaan multi media yang memvisualisasikan proses penebangan hutan tersebut, namun cukup dengan memvisualkan hutan yang sudah tandus. Sedangkan dari aspek sound system nya, ini menyangkut persoalan teknis, perlengkapan dan juga sumber daya manusia yang mengoperasikannya. Namun beliau mengakui, inilah persolan umum yang selalu dihadapi di Indonesia dalam konteks seni pertunjukan.
Persoalan lain yang barangkali tidak dapat diabaikan begitu saja adalah masalah etika ketika sedang menonton sebuah seni pertunjukan yang memerlukan sikap apresiatif. Persoalan ini dapat dilihat manakala beberapa grup manampilkan hal yang barangkali asing bagi pengalaman estetik penonton yang ada di gedung pertunjukan tersebut. Alangkah tidak tepat bilamana di dalam ruang yang sesungguhnya memerlukan perlakuan apresiasi direspon dengan cara yang sedikit membanyol lazimnya dilakukan orang di saat sedang menonton pertunjukan lawakan. Apalagi perlakuan ini dilakukan oleh orang-orang yang sesungguhnya harus mengapresiasi dari sebuah karya seni, terlepas apakah karya tersebut dekat dengan diri mereka secara kultural atau estetik. Perlu dimaklumi, karya musik yang ditampilkan tentu dibuat bukan dengan maksud untuk membuat penonton jadi ketawa atau dalam konteks melawak. Kalaupun ada, itupun tidak perlu diketawakan.
Akhirnya, tentu tak ada gading yang tak retak dan kesempurnaan hanya dapat diraih dengan evolusi yang dilakukan secara bertahap serta konsisten tentunya. Mudah-mudahan ini bukan kali pertama sekaligus kali terakhir dari sebuah helat seni yang memang dibutuhkan untuk ruang apresiasi dalam konteks kualitas seni. Bravo for RaPA…

Rabu, 03 Agustus 2011

MUSIK SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI DAN PERMAINAN

Oleh: Armand Rambah

Tidak ada yang asing dari judul tulisan di atas, bahkan hal tersebut selalu terlihat dan dirasakan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Dua kata yakni komunikasi dan permainan sudah terintegrasi hampir di setiap potret kehidupan serta keberadaannya sudah merupakan suatu keniscayaan di dalam kehidupan ini. Tentu tidak dalam konteksnya dan akan sangat panjang bahkan melewati tulisan ini bilamana hal tersebut diuraikan satu persatu pada tulisan ini. Namun dalam korelasinya dengan seni musik, dua kata tersebut juga selalu digunakan dan oleh sebab itu perlu rasanya untuk diwacanakan agar fenomena tersebut tidak berlalu begitu saja tanpa makna. Itu jugalah sebabnya dua kata tersebut menjadi fokus tulisan kali ini, dengan harapan terwujudnya sensitivitas terhadap berbagai fenomena musikal yang terjadi di masyarakat.

Pada kenyataannya fungsi musik itu dapat dilihat di berbagai fenomena kehidupan yang ada di masyarakat. Sebut saja misalnya fungsi musik sebagai sarana ekspresi kultural, propaganda politik, hiburan, peneguhan integrasi sosial, penopang suatu kegiatan budaya dan seterusnya. Tentulah pada masing-masing fungsi musik ini, musik memiliki cara ataupun sistem yang berbeda di dalam penggunaannya. Mengingat banyak dan luasnya fungsi musik yang ada di dalam kehidupan masyarakat, maka pada tulisan kali ini topik yang akan dibahas adalah fungsi musik dalam konteksnya sebagai media komunikasi dan permainan yang selalu digunakan oleh masyarakat yang memilikinya.

Musik Sebagai Komunikasi

Musik sebagai media komunikasi yang dimaksudkan di sini adalah dalam konteks penggunaannya (used). Sebagai contoh lagu menidurkan anak atau yang disebut dengan dodoi, nandung dan lullaby. Fungsi musik dalam konteks ini adalah sebagai media komunikasi untuk mengekspresikan kecintaan orang tua dengan cara menghibur anaknya melalui nyanyian-nyanyian, tentu harapannya adalah anak mereka dapat tidur. Contoh lain dari hal serupa adalah lagu-lagu tentang percintaan, yang selalu dipergunakan oleh sepasang kekasih demi mengekspresikan perasaan mereka masing-masing dengan harapan dapat memikat serta menjalin kasih sayang di antara mereka. Walaupun pada kenyataannya musik yang digunakan pada dua contoh ini dalam konteks komunikasi belum tentu berhasil sebagaimana yang diharapkan, namun setidaknya sudah terjadi sebuah perlakuan komunikasi, yang mana musik dijadikan sebagai media perantaranya. Artinya di sini telah terjadi suatu proses “perekayasaan” dengan menggunakan media musik sebagai pengantarnya.

Musik juga dapat menyampaikan penekanan perbedaan identitas kelokalan (ethnic identity) pada masyarakat yang heterogen. Hal ini dapat dilihat misalnya musik zapin sebagai identitas dari masyarakat Melayu pesisir (terutama Bengkalis dan Siak), gondang burogong sebagai identitas masyarakat Rokan, rarak sebagai identitas masyarakat Kuantan, madihin sebagai identitas masyarakat Indragiri Hilir dan lain sebagainya. Tentulah perbedaan dari instrumen dan lagu-lagu yang dipergunakan pada masing-masing bentuk musik tersebut juga termasuk sebagai pembeda sekaligus penanda dari masing-masing identitas kelokalan tersebut. Misalnya musik zapin menggunakan alat musik petik gambus dan perkusi marwas, sedangkan pada gondang burogong mengunakan alat musik calempong, gong dan gendang panjang. Dari contoh ini dapatlah dilihat bahwa musik telah digunakan sebagai penyampai karakteristik dari masing-masing masyarakat yang menggunakannya dan sekaligus bisa dijadikan media komunikasi untuk menciptakan serta memelihara identitas kelokalan yang ada di setiap kelompok masyarakat tersebut. Intinya di sini adalah, musik merupakan tanda yang dapat dijadikan penanda dan tidak diperlukan lagi proses perekayasaan demi sebuah legalitas kelompok, namun secara otomatis sudah menjadi bagian yang terintegrasi.

Selain dari dua hal di atas, masih dalam konteks komunikasi, di beberapa tempat masyarakat juga menggunakan musik sebagai bentuk komunikasi untuk keperluan hal-hal yang gaib (supernatural). Misalnya saja pada masyarakat Petalangan yang terdapat di Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau, musik dijadikan sebagai media komunikasi untuk menyampaikan berbagai permintaan penyembuhan yang di selenggarakan dalam bentuk ritual pengobatan. Di sini musik memakai media intrumen perkusi ketobung yang digunakan untuk mengiringi nyanyian sesembahan yang telah disesuaikan dengan tahapan ritual pengobatan tersebut. Dalam hal ini, fungsi musik sesungguhnya lebih kepada penopang suatu kegiatan budaya, karena yang lebih dipentingkan adalah kegiatan ritual pengobatannya bukan musiknya. Walaupun demikian, peristiwa ini tidak bisa dilepaskan bahwa peristiwa musikal terdapat di dalamnya yang digunakan sebagai media komunikasi antara manusia dengan sang penciptanya dalam maksud-maksud tertentu, yaitu permintaan penyembuhan kepada sang pencipta. Dengan kata lain, sesungguhnya fungsi musik sebagai media komunikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah terjadi di berbagai fenomena kehidupan masyarakat yang memilikinya.

Musik Sebagai Permainan

Membicarakan musik dalam konteks permainan memang tidak terlalu cocok untuk dijadikan parameter ukur dari perspektif ilmu untuk musik itu sendiri. Misalnya saja dari aspek bentuk musik yang terkesan monoton, minim teknik kontrapung, harmoni apa lagi orkestrasi. Namun perlu disadari pula bahwa permainan telah menjadi bagian penting di dalam perlakuan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup misalnya olahraga. Tidak terkecuali, musik juga digunakan dalam konteks permainan di berbagai komunitas masyarakat. Permainan yang dimaksudkan di sini bukan hanya sekedar perlakuan yang ala kadarnya saja terhadap musik tersebut, namun bagaimana ia dapat memberikan kontribusi dalam wujud kreativitas yang kompleks untuk musik itu sendiri dalam menopang eksistensi budaya secara menyeluruh.

Permainan adalah bagian dari ekspresi budaya yang juga dapat dijadikan motivasi utama dari bentuk partisipasinya di dalam musik. Misalkan saja pada beberapa aplikasi kegiatan permainan anak-anak, di mana musik dijadikan bagian pertunjukan dalam bentuk permainan. Sebagai contoh permainan anak-anak yaitu tam tam buku, cuk-cuk gendung, bang senebu yang di dalamnya jelas sekali terdapat aspek musikal sebagai sarana untuk permainan tersebut. Selain dari itu, pada masyarakat Shona yang ada di Zimbabwe banyak menggunakan musik pada kegiatan yang bersifat religius. Kata yang digunakan oleh masyarakat Shona dalam konteks kegiatan ini adalah mitambo yang berasal dari kutambo yang berarti “permainan”. Artinya, bagi masyarakat tertentu makna kata permainan dalam korelasinya dengan musik tidak hanya dimaknai secara dangkal, namun tersirat juga nilai-nilai yang dikontribusikan pada berbagai kegiatan budaya yang disakralkan.

Ada satu pertanyaan yang mendasar barangkali bisa diutarakan tentang permainan dalam maksud fungsinya terhadap musik. Apakah manfaat yang dapat diberikan dari berbagai aktivitas permainan dalam hubungannya dengan musik kepada masyarakat yang memilikinya? Dari perspektif finansial, persoalan ini barangkali masih debatable untuk dibahas, dikarenakan tidak semua kegiatan musik tersebut bisa mendatangkan keuntungan secara finansial. Namun ada sisi lain yang dapat diambil manfaatnya yaitu dari perspektif stimulasi dan motivasi. Menyitir pendapat antropolog Alfred L. Kroeber yang mengatakan bahwa beberapa aktivitas manusia yang melingkupi ilmu pengetahuan dan seni sesungguhnya berdasarkan pada suatu dorongan bermain (play impulse).

Bila dianalogikan ke dalam musik sebagai elemen budaya, maka pernyataan Kroeber ini dapat dimaknai bahwa dorongan bermain sebetulnya adalah modal dasar untuk mengeksplorasi serta mengelaborasi berbagai potensi musikal yang masih tersimpan sebagai pustaka hidup di dalam masyarakat yang memilikinya. Akan tetapi dorongan bermain yang dimaksudkan di sini, tentulah suatu perlakuan yang “terencana dan dirayakan” untuk suatu kegiatan musikal tersebut. Bukan sesuatu yang hanya terjadi secara alamiah tanpa adanya proses pemikiran terhadap dorongan bermain itu. Cara berpikir musikal individu yang kreatif, kiranya akan dapat membawa ide-ide baru tersebut ke tengah-tengah masyarakat sebagai sesuatu yang terlihat dan ternilai dari suatu perlakuan yang tidak hanya sekedar unik atau anomali dari sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Selain dari itu, dorongan bermain yang terencana dan dirayakan ini, akan serta merta pula dapat mempertahankan keberlangsungan eksistensi dari manifestasi musik tersebut sebagai bagian dari elemen budaya. Mudah-mudahan…